Kisah Masa Kecilku (Bagian 6)


Alempureng Na Awaraning

Perkara imunisasi memang hal yang masih pelik dalam pikiran warga desa kami. 

Bila ada yang kurang sehat, memeriksakan diri ke Puskesmas adalah pilihan nomor sekian, apalagi ke rumah sakit, mereka lebih mempercayakan urusan ini ke taweq-na Uwak Bandu, air yang telah diberi mantra dan berbagai jampi. 

Maka apa yang dilakukan Hasan dan Husen justru mendapatkan pujian dari warga, mereka dianggap pemberani karena menolak untuk disuntik, diobati dengan cara-cara asing. 

Berbeda halnya dengan keluargaku, sebagai orang tua yang lebih berpendidikan dari orang tua kebanyakan teman sekolahku, ayahku justru memberiku pujian karena berani diimunisasi. 

Menurutnya, kita harus mendukung program pemerintah untuk menyehatkan warga negara. Ayah memang salah seorang juru kampanye Golkar di kecamatanku. 

Kala itu, seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus memiliki kartu anggota Golkar. 

Bila ayah aktif di Golkar, maka lain halnya dengan ibuku, dia memilih untuk menjadi simpatisan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), satu-satunya partai yang diyakininya menjadi saluran aspirasi politik umat Islam. Padahal ibu saya juga seorang PNS.

"Bukankah ibu seorang pegawai negeri sipil, berani-beraninya mendukung PPP?" Tanyaku.

"Bukankah pilihan politik hendaknya besas dan rahasia? Tahu dari mana kalau ibu memilih PPP?" Dia bertanya balik.

"Ibu tidak takut dipecat?"

"Kenapa ibu harus dipecat?"

"Karena ibu tidak bergabung di Golkar." 

Meski aku tak mengerti politik, tapi sepertinya pilihan ibu tak keliru, buktinya dia juga tak pernah mendapatkan sangsi hanya karena tidak bergabung ke Golkar. 

Atau jangan-jangan ibu tak dihukum karena petinggi Golkar menghargai ayahku, entahlah, yang pasti ayah mendukung berat proses imunisasi di sekolah. 

Ayah bahkan sempat mendatangi keluarga Hasan dan Husen, Ife', Pandu, dan Ridwan, serta menawarkan jasa antar ke Puskesmas bila anak -anak mereka berubah pikiran dan siap untuk diimunisasi. 

* * * 

Sore itu, kami duduk melingkari api unggun di pinggiran kebun Uwak Sakka, sepupu Uwak Bandu dari desa Pattiro Bajo. 

Sambil menanti ubi kayu yang kami masukkan ke sela bara api itu matang, aku menggulung lengan baju dan memperlihatkan sebuah benjolan bekas luka yang mengering. Itu jejak imunisasi hepatitis di sekolah sebulan yang lalu.

"Coba lihat, apa kalian punya ini?" 

"Apa itu?" Hasan yang angkat bicara.

"Ini bukti bahwa saya tidak penakut."

"Maksudmu?" Gugat Ife'.

"Ini bekas imunisasi, menjadi tanda bahwa kami yang mempunyainya, berani disuntik." Ujarku bangga. 

Hasan mendekat, Pandu juga merubung, penasaran ingin melihat bekas lukaku dari dekat.

"Coba lihat, saya juga punya. Kita berani diimunisasi, jadi kita diberikan tanda khusus." Imbuh Baha'.

"Betul, tidak seperti mereka, hanya karena jarum suntik mereka melarikan diri, hehehe..." Ledekku.

"Saya tidak melarikan diri, saya cuma tak bisa membiarkan Husen pulang sendiri, jadi saya mengantarnya pulang, begitu kan Husen?" Kelit Hasan.

"Ah, kamu yang takut, aku yang mengantarmu pulang." Husen membantah.

"Sudahlah, intinya kalian semua takut disuntik. Ayo, ubinya sudah matang." Seruku. 

Saat kami menikmati ubi bakar, Baha' menemui Uwak Bandu untuk meminta izin memetik beberapa buah kelapa mudanya. 

Ubi bakar dan air kelapa muda memang makanan andalan kami, anak kampung. Kami meminta Baharuddin -demikian nama lengkapnya- yang memanjat karena dia yang paling besar di antara kami, meski sekelas. 

Baha' memang terlambat masuk sekolah setahun, ini juga tahun keduanya di kelas dua, berarti dia dua tahun lebih tua dari kami semua. 

Baha' bersaudara dengan Arief atau Ife', keduanya anak Uwak Masjidi, seorang petani penggarap. 

Mereka tak terlalu punya obsesi soal prestasi Baha' dan Ife' di sekolah, bagi Uwak Masjidi, yang penting anaknya sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung, itu sudah cukup, ada modal hidup agar tidak dibodohi orang sekolahan, katanya. 

Intinya, anak-anaknya bisa mengetahui musim dengan hanya melihat tanda-tanda alam, serta bagaimana mengatasi hama saat padi mulai bertumbuh. 

Tapi memang demikianlah adanya, Baha' bisa mengetahui bahwa musim hujan tahun ini akan lebih panjang dari masim kemarau hanya dengan melihat panjang dan pendeknya pohon bambu muda. 

Dia juga bisa mengetahui di bagian mana dia harus memasang pancingnya dengan memperhatikan jenis riak air selama beberapa jenak. 

Baha' tahu betul bagaimana riak yang timbul bila di dalam air adalah kerumunan ikan sepat ataukah ikan gabus, apalagi kalau ikan sidat. 

Kecerdikan sedemikian itu mengingatkanku pada La Méllong, yang dituturkan ayahku beberapa malam yang lalu. 

Syahdan ketika Kajao Laliddo -gelar La Méllong setelah diangkat jadi penasehat Raja Bone, yang artinya Tetua Kampung Laliddo- masih muda, kecerdikannya sudah tersebar hingga ke istana Raja Bone, sehingga Raja Bone merasa perlu untuk menghadirkan La Méllong ke istananya. 

Berangkatlah utusan raja ke arah Kerajaan Cina -salah satu kerajaan persemakmuran Bone, untuk mencari La Méllong. 

Saat hendak menyeberangi sungai yang menjadi tapal batas sebelah utara Kerajaan Cina, sang utusan melihat seorang remaja belia yang menggembalakan sapi di sisi selatan sungai. 

Wah, untung ada orang, gumam sang utusan, dia membutuhkan orang yang bisa dia tanyai tentang La Méllong, serta yang lebih penting lagi bertanya soal bagaimana dia bisa menyeberang sungai. 

Dengan setengah berteriak, sang utusan mengajukan soal ke remaja belia di seberang.

"Taddampengekka Ndiq, tabik Dik, dalamkah sungai ini?"

"Iyyaq ta tanai, Puang? Sayakah yang Tuan tanya?" Balas si remaja dari seberang.

"Siapa lagi kalau bukan padamu?"

"Ta tanai sibawatta, tanyakan pada teman seperjalananmu."

Mendengar itu, sang utusan dilanda dongkol yang sangat, tapi dia berusaha menahan diri, sebab tak ada orang lain kecuali remaja itu yang bisa dia tanyai.

"Iga sibawakku? Alé-aléku mi. Siapa temanku? Aku cuma sendiri."

"Apa itu yang Tuan pegang di tangan kanan?"

Sang utusan segera melirik tongkat di tangan kanannya, seketika dongkolnya reda. Cerdik juga anak ini, gumamnya sambil mengukur dalamnya sungai dengan tongkat. 

Anak muda yang ditanya oleh sang utusan sesungguhnya adalah La Méllong. Lihatlah, betapa cerdiknya bukan? 

Aku sampai curiga, jangan-jangan Baha' masih ada hubungan darah dengan La Méllong, ibunya memang berasal dari daerah Cina. 

Bukankah kecerdikannya mirip? 

* * * 

Malam telah sepi, aku memilih masuk ke balik kelambu saat TVRI mulai menyiarkan Dunia Dalam Berita. Adikku, Qassam telah lebih dahulu lelap. 

Kurebahkan badan sambil mengelus-elus bekas suntikan imunisasi di lengan kiriku. Bekas luka yang tak akan hilang dan tetap berada di sana, menjadi penanda bahwa aku berani disuntik. 


Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau 


Bagian 1

Bagian 2 

Bagian 3

Bagian 4

Bagian 5

Bagian 7

Bagian 8

Bagian 9

Bagian 10

Bagian 11

Kisah Masa Kecilku (Bagian 6) Kisah Masa Kecilku (Bagian 6) Reviewed by adminisme on 11/06/2024 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.