Kisah Masa Kecilku (Bagian 7)


Majjékko Kandao

Musim panen tiba, padi menguning sepanjang mata memandang. Mentari terbit dengan cahaya keemasan, diiringi angin pagi musim kemarau yang lembab. 

Hamparan padi di belakang rumah, memanjang hingga ke kaki bukit Pattiro Riolo di utara. Soal nama Pattiro Riolo, nantilah aku ceritakan, sekarang aku ingin fokus mengisahkan perihal musim panen padi.

Selepas subuh, seluruh warga telah bergerak, ibarat pasukan yang hendak berangkat perang. 

Hampir seluruh badan ditutupi pakaian, untuk menghindari miang, bulu halus yang memenuhi seluruh tumbuhan padi, dari batang, daun, dan buahnya.

Bila tak hati-hati, bila menyentuh tubuh, maka gatal akan menyerang tanpa ampun. 

Terkadang, hanya sepasang mata yang kelihatan, seperti ninja, bahkan ada yang memakai kacamata hitam.

Tak terkecuali kami para bocah. Meski orang tuaku pegawai negeri sipil, kami tetap punya sepetak sawah warisan yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan beras keluarga. 

Maka ketika warga berbondong-bondong ke sawah, kami pun demikian. Jangan khawatir tentang sekolah, kami semua diliburkan, sebab tak diliburkan pun, para murid lebih memilih ke sawah, selain untuk membantu orang tua, lebih dari itu, untuk main.

"Ayo Qassam, kita kejar Pandu dan Baha', mereka pasti sudah duluan."

"Tunggu, saya pakai beddaq pica dulu." Seru Qassam sambil mengoleskan bedak basah bikinan nenek ke muka dan lehernya.

"Apa kau tidak merasa dingin dengan itu?"

"Dari pada gatal-gatal nanti, mending dingin sebentar, hehehe..." Sambil melanjutkan mengolesi lengan dan betisnya. 

Beddaq pica memang menjadi andalan semua, bukan cuma Qassam. Berbahan baku tepung beras dicampur dengan berbagai jenis ramuan obat yang aromanya lumayan harum, membuat semua betah menggunakan bedak ini. 

"Ayo cepat, kalau matahari sudah meninggi, nanti tidak ada lagi ancalé yang tersisa, mereka pasti memilih sembunyi." Ajakku lagi.

"Saya sih tak ada masalah, saya sudah meminta bantuan pada Oncong untuk menangkapkan ancalé untuk saya, hehehe...." Jawab Qassam. 

Mendengar itu, aku menyambar capingku, berlari meninggalkan Qassam yang masih tertawa penuh kemenangan. 

Aku tak mau melewatkan momen berburu ancalé, sejenis belalang yang hidup di sela dedaunan padi.

Setiba di sawah, dengan berbekal kandao -sabit atau arit, sebentuk pisau bergerigi dan melengkung untuk memotong batang-batang padi, kami segera beraksi.

Sambil menyabit batang-batang padi, Uwak Mallongi berujar ke kita semua para bocah.

"Ajaq lalo muajjékko kandao. Jangan kalian bersifat seperti lengkung arit."

"Bukannya ini berguna, Uwak? Kalau tidak melengkung, tak akan cocok untuk memotong batang-batang padi." Sanggah Qassam.

"Betul Uwak. Justru bukan arit namanya kalau tidak melengkung." Baha' menimpali. Ia memang selalu membantu keluargaku, sejak masa tanam hingga panen.

"Maksudku, orang yang majjékko kandao itu akan cenderung tidak lurus dan tak jujur, seperti lengkung arit ini." Jelas Uwak Mallongi.

Lanjutnya, "Coba lihat kandao ini, dia akan menarik batang-batang padi ke arahnya. Mereka yang majjékko kandao akan menarik keuntungan sebesar-besarnya untuk dirinya termasuk dengan cara yang culas."

Kami terdiam memperhatikan cara kerja arit yang kami ayunkan. Betul seperti kata Uwak Mallongi, arit menarik semua batang padi ke arahnya.

Aku menatap lekat arit di tanganku dan membatin, bila manusia ingin menguasai semua hal sendiri, bukankah ia menjadi manusia yang rakus dan serakah? 

"Hai, apa yang kau pikirkan? Segera kumpulkan batang-batang padi itu, angkat ke dekat abbantingeng." Suara Uwak Mallongi menyadarkanku.

Kami para bocah, orang dewasa dan para remaja, kompak bergerak menggerek menggunakan kandao, lalu mengumpulkannya di samping abbantingeng.

Di sana telah menanti seseorang yang bertugas untuk merontokkan padi melalui abbantingeng, alat perontok padi sederhana. 

Alatnya terbuat dari pilar-pilar kayu yang disusun sedemikian rupa, menjadi tempat tangkai padi dibanting-banting agar bulir padinya lepas dan gugur.

Bagi keluarga yang lebih berada, mereka menggunakan alat perontok padi dengan teknologi sederhana. Pilar-pilar kayu yang telah dipasangi paku secara acak, dipasang melingkar pada pinggiran dua papan yang sudah dibentuk seperti piringan. 

Ujung pakunya dibiarkan menghadap keluar, sehingga tampilannya menjadi seperti roda gila. Di sisi dekat salah satu pinggiran piringan, terpasang gir sepeda. 

Bila abbantingeng tradisional, tangkai padi benar benar dibanting, maka pada alat ini, tangkai padi hanya diletakkan di atas roda gila yang berputar. 

Untuk memutar rodanya, pada gir sepeda tadi dipasang rantai sepeda. Satu ujungnya disambung dengan bekas ban sepeda, sementara ujung yang satu dipasang pada ujung sebuah balok yang dibiarkan tergantung. 

Roda akan berputar bila baloknya diinjak, ban sepeda berfungsi sebagai pengganti per untuk mengembalikan balok tadi ke posisi semula agar bisa diinjak lagi. 

Keluargaku juga mempunyai alat ini. Meski lebih sering dipinjamkan ke orang-orang yang membantu memanen padi, atau juga ke tetangga yang memanen padinya.


Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau 


Bagian 1

Bagian 2

Bagian 3

Bagian 4

Bagian 5

Bagian 6

Bagian 8

Bagian 9

Bagian 10

Bagian 11

Kisah Masa Kecilku (Bagian 7) Kisah Masa Kecilku (Bagian 7) Reviewed by adminisme on 11/06/2024 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.