Kisah Masa Kecilku (Bagian 11)


Osong Pakkanna

Kamis sore, kami berlarian menuju sungai. Aku menggandeng tangan Qassam, Oncong memompong adiknya Aco' yang kaki kirinya masih berbalut perban, ia menginjak beling dua hari yang lalu. 

Hasan berlomba lari dengan Husen, saudara kembar itu saling mendahului untuk sampai di tujuan. Kami sudah janjian untuk bermain petak umpet di sungai, nanti. 

Tapi sebelumnya, kami akan mampir di kebun Petta Baté yang dijaga oleh bapaknya Baha', jampu salo, orang kota menyebutnya jambu bandar atau jambu kemang, yang tumbuh di sudut kebun itu sudah siap dipanen.

Kami tiba saat Baha' sudah nangkring di salah satu dahan sambil menikmati buah jambu yang ranum. Ife' duduk bercangkung di bawah, memeluk sarung. Melihat kami datang, ia langsung berdiri.

"Ayo, bantu saya memegang ujungnya." Kami lalu membentangkan sarung, keempat sisinya dipegang olehku, Ife', Husen dan Oncong.

"Sarung sudah siap!" Teriak Ife'.

"Oke, tangkap yaaa...!" Teriak Baha, tangan kirinya merangkul di dahan, tangan kanannya melemparkan buah jambu yang telah dipetiknya ke arah bentangan sarung. Satu, dua, empat, enam, sepuluh. Lemparan Baha' bertubi-tubi.

"Tahan, kami turunkan dulu yang ini!" Teriakku.

Buah-buah jambu yang tertampung di sarung, kami turunkan pelan di pangkal pohon jambu. Qassam, Hasan, dan Aco mendekat.

"Saya coba ya, siapa tahu tidak enak!" Teriak Qassam.

"Ah, bilang saja kalau sudah tak tahan ingin mencicipi." Tanggap Ife'. Kami semua terkekeh sambil kembali membentangkan sarung Qassam lalu memilih jambu yang ingin diicipnya, disusul Hasan. 

"Wah, harumnya. Manis pula." Qassam berkomentar pintas, setelahnya dia sibuk menggigiti buah jambu pilihannya.

"Iya, manisnya. Tak ada kecutnya sama sekali." Timpal Hasan.

"Cukup untuk hari ini ya, kayaknya yang ranum juga sudah saya petik semua." Seru Baha' dari atas, tanpa menunggu persetujuan kami, dia sudah bergerak turun, lincah seperti pemanjat profesional.

"Sudah ada tiga puluhan ini." Seruku sambil menunjuk tumpukan jambu.

"Ayo, kita bungkus dengan sarung, nanti kita nikmati sambil berendam." Ife' kembali menghamparkan sarung lalu menaikkan buah jampu salo

Setelahnya, kami bergerak menuju sungai sambil menggigit jambu dan bersenandung riang.

Kapala daéra / Duduk di kadéra / Makang gula méra / Tabbérak-bérak //

Setiba di pinggir sungai, aku mengeluarkan bungkusan gammi ladang, ulekan cabe rawit dengan garam.

"Nah, ini baru seru." Hasan langsung menekan-nekan jambunya di gammi ladang baru dia gigit.

"Wuih, pedasnya." Bibirnya bergetar.

"Iya kah? Sini aku coba." Ife' ikut mencoba gammi ladang yang kubawa.

"Brrrrr.... Ini baru lombok." Komentar Ife'

Saat tubuh kami menghangat karena pedasnya gammi ladang, kami berlomba melepas baju lalu berlarian untuk menceburkan diri ke sungai. 

Setelah kuyup, kami kembali ke bantaran sungai menikmati jampu salo dan gammi ladang. Bila kepanasan, kembali kami berendam. 

Begitu seterusnya hingga magrib menjelang dan kami berlari pulang.

* * *

Sebulan sebelumnya, saat jampu salo Petta Baté baru mengeluarkan bakal buah, benda mungil warna merah berbentuk corong dengan jambul-jambul halus warna senada, kami berkerumun di bawah pohonnya.

"Kau, Hasan, Ife' dan Aco', satu tim. Saya, Qassam, Pandu, dan Oncong juga satu tim." Ujar Husen padaku.

"Terus, Baha' tidak ikut bermain?" Tanyaku.

"Saya akan menyiapkan peluru, hehehe..." Jawab Baha'.

Kami akan bermain perang-perang dengan menggunakan balliliq, semacam senapan dari reranting bambu yang menggunakan bakal buah jampu salo sebagai peluru.

Sebagai anak yang paling besar di antara kami, Baha' tidak ikut bermain, dia hanya bertugas menyiapkan balliliq dan pelurunya sekaligus.

Balliliq terbuat dari ranting bambu berukuran sedang. Kami memilih ranting yang lurus dengan panjang sekira empat atau lima jengkal setiap ruas. 

Ranting itu dipotong tepat di bawah buku, lalu tiap potongan itu dipotong lagi sekira lima atau enam jadi di atas buku. 

Potongan pendek akan menjadi pegangan atau gagang, sementara yang panjang akan menjadi badan atau bagian utama balliliq

Pada potongan yang lebih pendek dan ada bukunya, dimasukkan semacam lidi dari bilah bambu yang telah diraut bulat, sebagai pallocoq, pendorong peluru. Panjang pallocoq disesuaikan dengan panjang badan balliliq.

Mekanisme kerja balliliq sebetulnya sederhana saja, memanfaatkan daya dorong angin di pembuluh untuk mendorong peluru agar terlontar. 

Bakal buah jampu salo yang berwarna merah menyala, kami masukkan ke pembuluh balliliq, ujungnya yang mempunyai jambul dengan warna senada dipukul-pukul menggunakan gagang balliliq hingga rata dengan permukaan pembuluh. 

Peluru lalu didorong menggunakan pallocoq hingga tepat di ujung pembuluh. Selanjutnya, peluru kedua dimasukkan dengan mekanisme yang sama. 

Tekanan angin yang berada di antara dua peluru menjadi daya dorong yang kuat untuk melontarkan peluru keluar. Demikianlah tembakan balliliq tercipta.

Bermain perang-perangan, membawa pikiranku berkelana ke tahun 1905, pada akhir November kala laskar Bone yang dipimpin Petta Ponggawaé, takluk oleh pasukan kolonial Belanda.

Sebelum memulai perang, Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta Ponggawaé selaku panglima Kerajaan Bone mengumandangkan ikrar yang fenomenal.

Ikrar yang lebih dikenal dengan istilah osong pakkanna menunjukkan keteguhan hati dan kesetiaan pada pertiwi dari seorang anak negeri.

Itawaq mai La Puang, Batara Tungkeqna Boné / Mupemmaggaq madécéngngi sining pattuppu batué / Sailé toaq la béla sining tau maégaé/ Muaréngkalinga maneng sining tau tebbeq édé.

Iyyaq aréqna la béla betta massolla-sollaé / Betta lélé angkuruq-é / Temménnajai la béla sungeqku lété ri majéng / Mallipu ri pammasareng.

Apaq makkedai sia rilaleng nawa-nawakku / Inappa mémengngi béla / paranruq rukka mawekkeq / alingereng mangkauqku Batara Tungkeqna Boné.

Kubayangkan Petta Ponggawaé berdiri di depan pasukannya, mengacungkan badik seakan menghunjam langit, dengan suara lantang menggaungkan osong pakkanna.

"Kenapa? Kamu kurang sehat?" Baha' membuyarkan lamunanku.

"Aku baik-baik saja Baha', aku cuma terkenang perjuangan Puatta Petta Ponggawaé berperang melawan Belanda, dulu." Jawabku sambil mengelap air di sudut mataku.


Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau


Bagian 1

Bagian 2

Bagian 3

Bagian 4

Bagian 5

Bagian 6

Bagian 7

Bagian 8

Bagian 9

Bagian 10

Kisah Masa Kecilku (Bagian 11) Kisah Masa Kecilku (Bagian 11) Reviewed by adminisme on 11/10/2024 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.