Mappabbotting-Botting
Hari ahad, sejak pagi buta kami sudah berada di sungai. Sekarang musim kemarau, panen padi baru saja usai, sehingga kami mempunyai waktu yang panjang untuk bermain, kami terbebas dari keharusan membantu orang tua di sawah.
Kemarau membuat debit air sungai jauh berkurang, pinggiran sungai menjelma pantai mungil berpasir kerikil. Di situlah pusat aktivitas kami pagi ini –bersama rombongan ibu–ibu yang sekalian mencuci pakaian, mencari tudé.
Suatu kesyukuran, sungai ini dihuni berbagai jenis tudé, ada bajeq ridi, ukurannya kecil dengan cangkang berwarna kuning keemasan, ada bajeq lotong yang lonjong pipih berwarna kehitaman, pun jellung yang agak bulat dengan besaran bisa mencapai sekepalan anak balita.
Aku tak tahu nama ketiga jenis tudé itu dalam bahasa Indonesia. Aku sampai berpikir jangan–jangan jenis tudé ini adalah endemik di kampung kecilku, sehingga namanya pun bersifat lokal sahaja.
Dari ketiga jenis itu, bajeq ridi yang menjadi favorit untuk dikonsumsi oleh warga desaku, mungkin karena rasanya paling gurih. Tapi bila untuk jualan, bajeq lotong adalah yang paling laku di pasaran.
Sementara jellung, menjadi pilihan untuk menjadi campuran bubur jagung pulut, barobboq. Jellung butuh perlakukan khusus bila ingin dikonsumsi, setelah diambil dari sungai, setidaknya harus diendapkan dalam wadah selama dua sampai tiga hari, sebab bila tidak, lambungnya penuh pasir, sehingga kurang nyaman dikonsumsi.
Dengan hanya mengenakan celana kolor, kami berlarian dari bantaran sungai, tempat kami menyimpan pakaian, segera menceburkan badan ke air yang sejuk. Hanya Baha' yang belum membasahi badannya sama sekali.
“Saya di sini saja deh, masih malas merendam tubuhku, dingin.” Baha’ memilih mencari bajeq ridi di hamparan pasir sepanjang pinggiran sungai yang basah, hanya dengan bermodalkan kaki yang digunakan untuk mengacau pasir, lalu arus air yang jernih akan menyapu keruh, setelahnya, berbiji–biji bajeq ridi tinggal dipungut
“Ah, cari alasan saja ini Baha’, bilang saja kalau…..” Ledek Husen.
“Jangan macam–macam kamu Husen,” seru Baha’ sambil mengejar Husen yang telah berlari ke dalam sungai.
“Ada apa ini? Cerita doooong, jangan main rahasia–rahasia deh.” Sergaku.
“Suit suiiit….” Hasan menimpali, kulihat muka Baha’ memerah.
Setelah beberapa lama Baha’ mencari bajeq ridi, baru kusadari alasan dia tak mau meninggalkan pinggiran sungai.
Rupanya, di antara kerumunan anak perempuan yang juga asyik mencari tudé, kulihat Nanna hadir di sana. Putri Aji Bambang yang bernama lengkap Jauhariana itu, adalah teman sekelas kami di Sekolah Dasar.
Sudah beberapa lama memang Baha’ suka mencari–cari perhatian dari Nanna, sejak kakaknya Nanna yang bernama Kak Ros dan teman–temannya, mencoba menjodoh-jodohkan mereka.
* * *
Suasana riuh, kami diajak bermain bersama oleh Kak Ros beserta teman–temannya. Kak Ros ini sudah siswa kelas tiga SMP. Mereka telah mendirikan dua tenda dari kain sarung.
“Adik–adik, kami mau bermain nikah–nikahan, tapi kami belum punya calon pengantinnya.” Kak Lena mendekat ke arah kami.
“Maksud Kakak?” Kuberanikan diri bertanya.
“Kalau ada yang bersedia, ayo main bersama.” Kali ini, Kak Ifah yang mengajak.
“Baha’ saja, Kak. Dia yang paling besar di antara kami.” Usulku.
“Nah, bagus kalau begitu, kamu bersedia kan, Baha’?” Tanya Kak Ros.
“Diam berarti setuju. Sekarang siapa pengantin perempuannya?” Imbuh Kak Lena lagi.
“Tentulah bukan salah satu di antara kita, nanti tak seimbang.” Sambung Kak Ifah.
“Jadi siapa?” Kak Ros memandangi kami satu persatu
“Adik kamu saja, Nanna.” Jawab Kak Lena.
Singkat cerita, Nanna bersedia. Maka permainan ini berlanjut dengan seru, kami menjadi keluarga pengantin lelaki.
Permainan berlangsung seakan–akan kami betul–betul menggelar pesta pernikahan, kue–kue disiapkan oleh Kak Ros dan teman–temannya, bahkan ranjang pengantin juga telah mereka tata di dalam salah satu tenda.
Kami juga tak tahu apa yang harus dilakukan sepasang pengantin di dalam kamar setelah akad nikah. Maka, ketika bagian itu tiba, Baha’ dan Nanna hanya bisa saling menatap penuh tanda tanya.
Kami, keluarga pengantin laki–laki menjadi kikuk, sementara Kak Ros dan kawan–kawannya terbahak melihat muka kami yang pada melongo, tak mengerti apa yang terjadi.
Melihat kami bermuka masam, ibuku mendekat dan bertanya, "Hai, ada apa? Kok bermain bersama membuat kalian malah seperti ingin berperang begitu?"
"Kak Ros dan teman-temannya mengerjai kami, Puang. Kami diajak bermain pengantin-pengantin, tapi mereka menganggap ini serius, padahal ini kan cuma permainan, dan kami cuma berteman. Iya kan, Nanna?" Jawab Baha' dengan terbata.
"Oh, begitu. Boleh kalian bermain, tapi jangan kelewat batas. Dan soal perjodohan juga jangan dianggap main-main. Belum tentu yang kamu anggap jodohmu akan jadi suami atau istrimu, begitu juga sebaliknya." Ibuku menasehati.
Sambil menatap kami semua, ibuku melanjutkan, "Orang-orang tua dulu pernah berpesan, mau melleq mabélaé, mau teppekuwa mabbali bolaé. Walau yang jauh memantik rindu nan syahdu, tetap kan lebih karib yang bertetangga dan teman sekampung."
"Berarti jodoh tak akan jauh, Puang?" Baha' bertanya dengan muka serius.
"Bukan begitu Baha'," Kak Ifah menimpali, "Itu tadi artinya, soal jodoh itu rahasia Tuhan, tetapi berteman baik dan bersahabat dengan tetangga, itu harus dijaga dengan baik. Begitu kan, Puang?" Sambil melirik ibuku.
"Kurang lebih begitu. Tapi yang penting kita harus menjaga keharmonisan dengan tetangga, sebab merekalah saudara terdekat kita. Mungkin kita sepupu, om dan tante di kampung sebelah, tetapi tetap saja tetangga yang utama." Jelas ibuku.
"Kenapa bisa begitu, Puang?" Husen bercelatuk.
"Coba, misalnya ada seseorang yang kena musibah. Siapa yang pertama menolongnya? Bukan saudara atau sepupunya dari kampung sebelah, bukan pula om dan tantenya yang tinggal di kota, tapi tetangganya, mereka yang tinggal di samping rumahmu." Ibu mengulum senyum, manis sekali.
Aku teringat ayahku, saban pagi, saat berada di sumur untuk mandi sebelum ke sekolah, akan menyempatkan waktu untuk membantu tetangga menimba air, atau mendahulukan mereka yang terburu-buru. Iya begitu memuliakan tetangga.
Kami lalu lanjut mencari tudé, sedang Kak Ros dan teman-temannya melanjutkan permainan masak-memasak, bahkan sampai permainan mengasuh bayi.
Tapi sejak itu, kami tak mau lagi ikut bermain bila diajak oleh Kak Ros, kami merasa orang–orang besar suka mempermainkan dan menertawakan kami bila bermain bersama mereka.
Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau
Tidak ada komentar: