Di tengah bisingnya aktivitas perkotaan, tersebutlah seorang anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar Swasta A, yang pada saat itu pemiliknya adalah seorang Wakil Presiden Republik Indonesia.
"Hahahahaha..." Saat mendengar kalimat awal cerita tersebut, kalian mungkin mengira bahwa anak ini sangat beruntung, kan? Dia bersekolah di sebuah sekolah dasar yang dapat dikatakan termasyur, dan dia bahkan tinggal di kota metropolitan.
Tapi, kita tetap harus mendengarkan kata pepatah, 'Jangan menilai buku dari sampulnya', agar dapat memahami bahwa apa yang terlihat di luar cerita ini, nyatanya tak sama dengan apa yang sebenarnya terjadi di dalam.
Anak ini, merupakan anak yang tak takut mengekspresikan apa pun yang ada dipikirannya. Apa saja yang menjadi perangai dan buah pikir dari anak itu, tak takut untuk dikeluarkan olehnya. Hal ini membuat dirinya memiliki cukup banyak teman. Tetapi, meskipun dengan kepribadian yang hampir dikatakan tak ada rasa takut pada anak itu (kecuali pada hantu), anak itu ternyata iri dengan temannya.
Ada seorang teman kelas dari anak tersebut, yang mengikuti suatu lembaga bimbingan belajar matematika ternama dengan inisial “K”. Yang membuat sang anak tersebut menjadi iri, adalah fakta bahwa teman kelasnya bisa berkeliling dunia dengan menggunakan ilmu matematika yang dimilikinya. Dia bisa mengunjungi Kairo, Tokyo, Kuala Lumpur, Singapura, dan bahkan New York. Pada hari itu, sang anak pemimpi pun tahu apa yang akan menjadi salah satu tujuan hidupnya, mengelilingi dunia.
Walaupun rasa iri hati biasanya diinterpretasikan dengan hal yang tak elok, tetapi anak ini dapat dikatakan sedang iri pada keilmuan seseorang. Dia ingin juga keliling dunia, tetapi bukan dengan cara meminta kepada orang tuanya untuk mengajaknya berkeliling dunia. Melainkan dengan menempuh cara yang sama dengan temannya. Yaitu dengan belajar.
Dengan berbekal rasa iri pada ilmu yang telah diresapi oleh temannya di lembaga bimbingan belajar matematika ternama itu, sang anak yang memiliki perawakan yang lumayan besar itu memberanikan diri untuk bertanya kepada sang Ibu. Saat sang anak bertanya dan menceritakan tentang betapa hebatnya teman sang anak tersebut yang dapat berkeliling di kota-kota besar dunia hanya berbekal ilmu dari tempat bimbingan belajar itu, sang Ibu tampak berpikir. Bahkan sang Ibu tak pernah sangka, bahwa anaknya justru akan iri dengan orang lain yang mengikuti bimbingan belajar.
Yah, siapa yang menyangka jika hal tersebut akan terjadi. Sang Ibu selalu memenuhi keinginan anaknya yang masih masuk akal, anaknya pun dibelaki kertas yang disebut uang dalam nominal yang bisa dibilang cukup.
Sepatu, tas, dan pernak-pernik anaknya pun selalu dicukupkan olehnya. Lantas, sekarang anaknya iri dengan temannya yang bisa berkeliling dunia berkat ilmunya? Ibunya bahkan masih tak percaya hingga hari ini. Meskipun, hal tersebut kerap dia bangga-banggakan mengingat anak-anak lain yang ketika disuruh mengikuti kursus malah histeris dan menjerit karena masing ingin bermain.
Berbekal rasa bangganya pada sang anak, serta setelah menanyakan bahwa sang anak tak akan bermain-main dengan bimbingan belajar yang telah didaftarkannya, sang Ibu pun dengan mantap mendaftarkan anak itu ke bimbingan belajar yang sama dengan teman yang kata sang anak dia iri-kan tersebut.
Awalnya, sang ibu menduga bahwa sang anak hanya akan semangat di awal-awal masa pembelajaran saja di tempat bimbingan belajar yang telah didaftarkannya. Tetapi siapa yang menyangka? Sang anak justru suka dan tak pernah absen sekalipun dari tempat bimbingan belajarnya.
Tanpa disangka-sangka lagi, sang anak kembali meminta bimbingan belajar bahasa Inggris setelah melihat temannya lagi. Sang anak melihat teman sebayanya, sebenarnya teman yang sama yang mengikuti bimbingan belajar matematika, juga mengikuti kursus bahasa Inggris. Sehingga tentu saja, dia pun ingin memintanya. Bukan untuk meniru temannya, tetapi kali ini rasa penasaranlah yang membuatnya berani memintanya.
Berbekal rasa percaya pada sang anak yang telah teruji selama berjalannya bimbingan belajar matematika yang diikutinya, dengan angka 0 yang tercetak pada kolom alpha anak itu, sang Ibu mendaftarkannya. Tetapi kali ini pada lembaga yang berbeda, karena diketahui bahwa lembaga kursus yang diikuti oleh temannya itu ternyata letaknya cukup jauh dari rumah.
Mengingat usia sang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, sang Ibu pun mencari lembaga kursus bahasa Inggris terdekat dari rumahnya, dan ya, pada akhirnya sang Ibu mendapatkan tempat kursus bahasa inggris terdekat dari rumahnya lalu mendaftarkan sang anak ke lembaga kursus tersebut atas permintaan sang anak.
Seperti yang telah diduga oleh sang Ibu, sang anak pun mengikuti lembaga kursus ini dengan penuh semangat. Saat sang anak menyelesaikan jam belajarnya di pukul 16.20 sore, sang anak bergegas berangkat ke tempat bimbingan belajarnya, lalu keesokan harinya berangkat ke tempat kursusnya. Begitu terus yang dia lakukan, dari 5 hari sekolahnya, 4 harinya dipenuhi aktivitas bimbingan belajar dan kursusnya sepulang sekolah.
Sang Ibu nampak khawatir pastinya, karena putranya memiliki jadwal yang cukup padat menurutnya. Bersekolah dari jam 7.30 pagi sampai 16.30 sore, lalu melanjutkan sesi bimbingan belajarnya yang bisa berlangsung sampai jam 18.00 menjelang malam, lalu pada hari kursus, dia biasanya baru pulang jam 18.30.
Tetapi, dengan berbekal melihat kegigihan sang anak, sang Ibu pun akhirnya percaya pada sang anak. Sang Ibu percaya, bahwa sang anak bisa dan mampu untuk melewati semua itu. Lambat laun, sang Ibu sadar, jika hanya berbekal rasa iri, yakin dan percaya sang anak pasti akan menyerah ketika aktivitasnya mulai sangat padat. Tetapi pada faktanya, sang anak tak menyerah.
Maka dari itu, dia yakin bahwa rasa penasaran anaknya lah yang menggerakkannya sampai ketitik dimana dia berani untuk mengungkapkan apa yang dia inginkan yang pada kenyataannya sangat berbeda dengan anak seusianya.
Mungkin sang anak melihat hal tersebut sebagai rasa iri semata, namun pada kenyataannya, sang Ibu paham dan mengerti, rasa penasarannya-lah yang membuatnya bertahan.
Kalian pasti penasaran bukan apa yang terjadi selanjutnya? Ya, setelah berkecimpung dengan dunia bimbingan belajar dan kursus sejak kelas 3 SD, dan terhitung sudah kurang lebih 8 tahun lamanya sang anak tak pernah tidak mengikuti setidaknya satu bimbingan belajar.
Sekarang sang anak telah duduk di bangku kelas 12. Bangku kelas terakhir yang didudukinya pada jenjang pendidikan menengah. Dia memang sempat berhenti mengikuti kursus sepenuhnya selama 1 tahun akibat orang tuanya yang sedang mengalami cobaan. Tetapi setelah itu, alhamdulillah orang tuanya perlahan bangkit. Lalu sang anak pun kembali mengikuti kursus dan bimbingan belajar.
Hingga di kelas 12 ini, sang anak masih terus semangat mengikuti bimbingan belajar. Meskipun sudah bukan bimbingan belajar matematika berinisial “K” atau lembaga kursus bahasa inggris berinisial “B”, melainkan lembaga bimbingan belajar yang terkenal dengan logo gajahnya yang mirip dengan logo Institut Teknologi Bandung.
Dia masih terus saja semangat. Semangat untuk mencari ilmu, semangat untuk membahagiakan orang tua yang tak pernah menuntutnya, semangat untuk mencetak senyuman di wajah kedua orang yang selalu mendukungnya dan selalu memenuhi apapun keinginan sang anak selama masih masuk akal. Hanya itu, yang sekarang menjadi tujuan sang anak.
Impiannya untuk berkeliling dunia bermodalkan ilmu pengetahuan, akan disimpan terlebih dahulu. Mungkin akan dibukanya suatu hari nanti, saat dia berhasil menjelajahi dunia dan berkuliah di kampus terbaik dunia, dengan modal ilmu pengetahuan.
Satu hal yang sang anak itu inginkan juga. Semoga kegigihan dan usahanya, tak akan mengkhianati hasilnya. Semoga sang anak dapat meraih cita-citanya dan berkuliah di universitas yang diinginkannya. Atau dimana sang Ilahi menghendakinya. Dia tetap berharap, semoga dengan diterimanya dia di universitas dan jurusan yang diinginkannya, dia dapat mengukir senyuman di bibir kedua orang yang sangat berharga di matanya.
Satu hal yang dapat kita ambil dari cerita ini, ini bukan kisah tentang seorang anak yang beruntung yang dilahirkan dikeluarga yang sangat pengertian, penuh kasih sayang, dan tak menuntut. Ini juga bukan kisah tentang seorang anak yang dengan mudahnya mendapatkan apa yang dia inginkan dengan uang orang tuanya.
Ini juga bukan tentang keuntungan yang didapat sebagai anak perkotaan pada saat itu, atau sebagai anak sekolah swasta milik Wakil Presiden pada saat itu. Melainkan ini tentang kisah, bagaimana rasa iri yang seharusnya kita miliki.
Iri, kepada orang yang mampu membangun masa depannya. Iri, kepada orang yang bisa menimba ilmu sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya. Iri, kepada mereka yang bisa menjelajahi dunia, membangun koneksi, dan bahkan berdampak untuk dunia hanya dengan berbekal ilmu pengetahuan.
Penulis percaya, rasa iri memiliki dua sisi. Satu sisi dimana rasa iri tersebut dapat membuat kita kehilangan jati diri akibat rasa tak puas hati melihat orang lain lebih maju. Dan, rasa iri yang membuat kita tak puas hati dengan diri kita sendiri, dan bertanya, kalau dia bisa, kenapa aku tidak? Rasa iri yang disebutkan terakhirlah yang menurut penulis merupakan perwujudan dari rasa iri yang baik. Selama rasa iri tersebut tetap memperhatikan kondisi sekitar.
Wujudkan rasa iri yang akan membuat kita haus akan ilmu pengetahuan.
Wujudkan rasa iri yang akan membuat kita memperbaiki diri.
Wujudkan rasa iri yang dapat membuat dampak baik yang signifikan untuk sesama.
Vivat Academia.
Vivant Professores.
Vivat membrum quodlibet.
Vivant membra quaelibet.
Semper sint in flore!*
Muhammad Irsalul I’timad. Lelaki muda ini tercatat sebagai siswa SMAN 1 Takalar yang ramah, dermawan dan murah senyum. Ia sangat senang membaca dan selalu penasaran terhadap isu-isu aktual dari berbagai platform digital. Meski sering mengikuti kompetisi debat bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, dan berhasil menjadi juara, Ia tetaplah seorang pria muda yang polos apa adanya.
* De Brevitate Vitae atau lebih dikenal dengan Gaudeamus Igitur.
[Ulasan atas cerpen ini dengan judul Saatnya Menularkan Semangat Belajar dapat dibaca di sinidi sini]
Tidak ada komentar: