Kisah Masa Kecilku (Bagian 4)


Tudang Ri Wiring Laleng

Setelah tak bergabung dengan kelompok bermainnya Kak Ros, kami anak lelaki lebih suka bermain yang menantang secara fisik. Hitung-hitung bertaruh, siapa yang pantas disebut lelaki yang lebih jantan.

Bersama Ife’ dan Husen, aku memillih mencari jellung berukuran besar yang banyak terdapat di dasar sungai berpasir halus. Cukup dalam memang, airnya sebatas leher kami yang sudah jinjit. 

Kami mencari jellung dengan cara menyelam sambil mengais–ngais pasir, dengan mata terbuka di dalam air tanpa kaca mata renang. 

Kami menjadikan mata yang memerah karena kelamaan menyelam sebagai bukti kejantanan. Terdengar lucu, tapi demikianlah kami memaknai kehebatan kami. 

Setelah sekira satu jam kami muncul dan tenggelam, mungkin sudah dua liter jellung kami kumpulkan, cukup untuk lauk santap siang kami berlima: Aku, Hasan, Husen, Ife’, dan Baha’. Sisanya, akan kami bawa pulang untuk lauk di rumah. 

Kami sudah menyiapkan segalanya, setengah liter beras, korek api, kaleng bekas mentega sebagai pengganti periuk, dan tentu saja garam untuk menambah kegurihan masakan jellung kami. 

Aku beraksi menjadi koki dadakan dengan peralatan masak ala kadarnya. Setelah menyusun tiga batu besar sebagai tungku, Ife’ menyalakan api dengan kayu bakar yang banyak berserakan di pinggir sungai. 

Kucuci berasnya, lalu kutanak dalam panci bekas kaleng mentega. Husen membersihkan jellung, Baha’ masih sibuk mencari bajeq ridi, sementara Hasan malah asyik nangkring di dahan sebatang pohon Kersen yang menjorok ke atas sungai. 

Dia sibuk mengunyah buah kecil manis berwarna merah cerah dan manis, yang menurut televisi juga bernama buah ceri. 

Dalam sebuah penyuluhan perkebunan yang aku tonton beberapa malam lalu di stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) –satu–satunya stasiun tivi yang mengudara kala itu, dijelaskan bahwa nama kersen berasal dari nama buah ini di Jepang, Japanse Kers.

Entah benar atau tidak, aku juga kurang paham, aku cuma menontonnya, toh dengan mengetahui namanya juga tidak berpengaruh terhadap nikmatnya mengemut buah kersen. 

Sebetulnya, kersen hanya salah satu buah kesukaan kami. Selainnya, ada buah kelapa dan buah lontar yang sudah hampir menjadi menu rutin kami bila bermain di ladang sepanjang pinggiran sungai. 

Namun yang paling sering membuat kami ribut adalah coppéng –orang kota menyebutnya camblang, buqné –aku belum pernah mendengar orang kota mengenalnya, dan dao –buah bulat sebesar kelereng yang sangat mirip dengan lengkeng

Coppéng akan menjadi rebutan kami saat buahnya yang sebesar satu ruas jemari itu berubah dari warna hijau, lalu putih, lalu merah jingga, hingga menjadi hitam. Semakin hitam dia, semakin legit rasanya. 

Cuma harus berhati–hati saat menyentuhnya, bila airnya mengenai baju, maka nodanya tak akan hilang, baju itu selamanya akan memiliki percik warna ungu. 

Buqné, ukurannya sebesar penabur –mimis atau peluru berbentuk bulat dan berukuran kecil. Siklus perubahan warna buahnya tak jauh beda dari coppéng, namun rasanya lumayan pekat. 

Nah, yang paling aneh adalah dao. Mengapa aku mengatakan aneh, karena buah ini tetap menjadi kesukaan kami, meski sesunggguhnya rasanya sangat kecut, beda jauh dengan lengkeng. 

Pernah ada sepupu ibuku datang dari Makassar yang menjadi korbannya. Saat tiba di rumah, dia menemukan beberapa butir dao di atas meja, karena berpikir itu lengkeng, dan rasa capek membuyarkan fokusnya, dia langsung melahapnya. 

Tapi begitu dao mendarat di lidahnya, dia terlonjak dari kursi dan memuntahkan dao dari mulutnya sambil mengumpat. 

Sekarang lagi bukan musim coppéng, buqné, maupun dao. Maka kersen menjadi pilihan utama kami saat ini, seperti Hasan. Kulihat dia makin bergerak ke ujung dahan yang penuh dengan buah memerah, tepat di atas lubuk.

“Hasan, petikkan juga untuk kami yaaaa….” Teriakku.

“Ayo ke sini, petik sendiri, sudah banyak buahnya yang masak.” Timpalnya sambil berayun dari dahan yang satu ke dahan yang lain, seperti Tarzan, film kartun yang kami tonton setiap akhir pekan.

“Hasan, hati–hati. Dahan pohon kersen itu rapuh.” Husen mengingatkan.

“Santai saja, toh kalau jatuh akan ke air juga, tak ada masalah. Hehehehe….”

“Kalau begitu, petik yang banyak yaaa…”

“Tunggu, nanti saya ikut memanjat.” Baha’ tiba–tiba berlari menuju pohon kersen sambil melirik sekilas ke arah Nanna yang berpura–pura tidak melihatnya. 

Sekarang ada dua orang bocah di atas pohon kersen, mereka berlomba memetik buah yang memerah dengan riang. Pucuk daun kersen di ujung dahan telah menyentuh permukaan air sungai. 

“Hooiiiii… Ayo ke sini, ini enak seperti main ayunan,” teriak Hasan sambil menggoyang–goyang dahan kersen yang dipijaknya naik dan turun. Melihat itu, Baha’ ikut menggoyang sambil teriak kegirangan. 

Tiba–tiba, dahan yang dipijak Hasan berderak, lalu rekah dan patah. Alih–alih melombat menyusul dahan yang terpental ke air, Hasan malah sibuk menjaga posisi dengan berpegang erat ke dahan di atasnya sambil berteriak histeris.

“Toloong, kantongkuuu...!” 

Aku terkesiap, Baha’ terlempar ke dalam air, Husen dan Ife’ sigap bergerak menjangkau posisi Hasan di dahan kersen yang patah. 

“Cepat bantu, kantong Hasan robek, cepaaat!” Sebagai saudara, Husen yang paling panik. Aku malah heran, cuma kantongnya yang robek, kok harus seheboh itu. 

Dengan enggan aku beranjak mendekat, kulongok ke arah celana Hasan yang tersangkut potongan dahan, kantongnya tak robek.

“Robek bagaimana? Kantongnya tidak apa–apa kok.” Ujarku.

“Bukan kantongnya, tapi kantongnya….” Seru Husen.

“Maksud kamu?”

“Ayo, lihat dari dekat.” 

Keheranan memaksaku memanjat dan mendekat ke arah Hasan. Aku mulai deg–degan begitu melihat celana kolor yang dikenakannya terkena bercak darah. 

Dengan tangan kiri kutarik ujung celananya untuk menyimak apa yang sesungguhnya terjadi di dalam situ, dan kantong apa gerangan yang robek serta mengeluarkan darah. 

Begitu melihat obyek yang jadi pusat perhatian kami itu, hampir saja aku terlempar jatuh saking kagetnya. Rupanya, yang robek adalah kantong biji pelirnya. 

Sejak kejadian itu, Hasan tak pernah lagi bermain bersama kami di sungai, dia dijaga betul oleh orang tuanya. 

Hanya Husen yang sesekali masih bergabung bersama kami, tapi tidak untuk memanjat pohon kersen, dia cukup trauma. 

Bahkan, begitu menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama, kedua saudara kembar yang memakai nama cucu Nabi Muhammad itu, dikirim ke kampung ibunya untuk sekolah di sana, di ujung selatan daratan Papua, Kota Merauke.

Ingatanku melintas ke Puang Aji Norma, guru kami di Sekolah Dasar. Pelajaran bahasa daerah yang diampunya banyak mengajari kami petuah-petuah arkaik perihal kehidupan.

"Inggerangngi kalakiq, narékko téyako risarompéngi lipaq, ajaq mutudang ri wiring laleng. Ingat, bila kalian tak sudi terserempet ujung sarung, jangan berani duduk di tepi jalan." Tegas Puang Aji Norma suatu pagi.

Menurutnya, jalanan jelas merupakan tempat orang berlalu lalang, dan di zaman dulu, hampir semua orang menggunakan sarung sebagai pakaian sehari-hari. Jadi bila kita nongkrong di pinggir jalan, tentu akan terserempet ujung sarung.

Lanjutnya, "Bila tak ingin dihina, jangan nistakan dirimu. Terserempet ujung sarung adalah sebentuk penghinaan, dan tepi jalan adalah tempat nongkrong yang kurang layak."

"Apa itu berarti bahwa ada risiko yang harus kita tanggung bila berani memilih sikap, keberpihakan, dan perbuatan tertentu, Puang?" Ife' berusaha memperjelas.

"Tentu, makin tinggi keberhasilan yang hendak kita raih, sebesar itu pula risiko yang harus siap kita tanggung." Pungkasnya sambil tersenyum mengakhiri pelajarannya hari itu.

Hasan telah menjadi contoh yang baik, bagaimana risiko selalu menyertai pencapaian tujuan. Semoga di kampungnya yang baru, Hasan makin cerdik memperhitungkan risiko yang dia akan hadapi. Aku mendoakanmu selalu, kawan.


Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau


Bagian 1

Bagian 2

Bagian 3

Bagian 5

Bagian 6

Bagian 7

Bagian 8

Bagian 9

Bagian 10

Bagian 11

Kisah Masa Kecilku (Bagian 4) Kisah Masa Kecilku (Bagian 4) Reviewed by adminisme on 11/05/2024 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.