Lepas isya, aku tersentak saat tak sengaja melihat almanak yang terpampang di layar gawai, 04 Februari 2025. Artinya, esok hari 05 Februari 2025, Himpunan Mahasiswa Islam, rumah besar tempatku pernah belajar dan menempa diri, memasuki usia ke-78.
Refleks, aku beranjak menyambangi lemari buku, kutarik beberapa pustaka yang menyebut-nyebut HMI. Setelahnya, aku ke dapur menyeduh kopi dengan lebih besar porsi susu, dalam gelas yang di sisinya terpatri logo KAHMI, wadah bagi alumni HMI.
Niatnya, membaca buku-buku menjadi pemantik untuk menyegarkan kembali ingatan yang kian keruh. Lalu meminum kopi, akan membuatku bisa menunda waktu tidur, dan gelas berlogo KAHMI akan mengingatkan bahwa aku sudah tua dan berstatus alumni.
Sebetulnya, ada begitu banyak peristiwa yang layak menjadi cerita selama ber-HMI. Mulai dari yang romantis, hingga yang tragis. Tapi entah mengapa, semua menguap malam ini. Ingatanku seakan hanya membolehkan menautkan pengalamanku selama di HMI, dengan buku.
Setiap orang, tentu punya jangkar ingatan dan tonggak kenangan yang berbeda perihal HMI. Tapi bagiku, terutama malam ini, kata kunci untuk menggambarkan HMI sebagai komunitas pembelajar, adalah buku.
Perihal buku dan keranjinganku membaca, memang sudah terbentuk sejak sekolah dasar dengan membaca cerita Wiro Sableng, utamanya. Tapi membaca secara terstruktur atas beragam tema, terbentuk di HMI, khususnya setelah mengikuti intermediate training.
Tak bisa kubayangkan HMI terpisah dari buku. Sebagai tempat berhimpun bagi mahasiswa, tentu HMI tak bisa lepas dari identitas selaku komunitas pembelajar muda dan intelektual muslim. Lalu, kedua identitas ini, dipertautkan oleh buku.
Mahasiswa sebagai kaum terpelajar yang berpikir bebas dan mandiri, dengan keberanian dan jiwa muda, tentu saja akan berhubungan dengan buku-buku sebagai sumber utama bahan diskursus dan sikap-sikapnya dalam aksi perubahan sosial.
Manalah mungkin lahir gerakan mahasiswa yang mapan, tanpa dilandasi dengan paradigma gerakan nan terstruktur dan dan dilambari pemikiran yang solid. Tentu paradigma dan pemikiran itu buah dari memamah berbagai narasi dari buku.
Manalah bisa HMI merepresentasikan diri sebagai intelektual muslim bila kader-kadernya tak akrab dengan kitab dan berbagai bahan pustaka, yang menjadi mata air pemahaman keberagamaan yang inklusif dan kesadaran iman nan substantif.
Maka berkisah tentang HMI tanpa membabar perihal buku-buku, ibarat mendongengkan Ramayana yang hanya menyebut perihal Sri Rama dan Sinta, tapi tak pernah mendedah Rahwana. Ibarat sayur, ia tak bergaram, hambar tak berasa.
Dulu, saat masih di HMI, adalah sebuah prestise nan ekslusif bila kita berjalan di lorong-lorong fakultas, bersama buku-buku yang ditenteng di tangan, bukan dimasukkan ke dalam tas. Meski pada saat yang sama, tas ransel tersampir di bahu, entah berisi apa.
Suatu kebanggaan tersendiri bisa 'memamerkan' bahan bacaan ke rekan mahasiswa, termasuk para junior puteri, terutama yang nyantol di hati. Tak afdal rasanya bila menyusuri koridor kampus dengan tangan kosong tanpa buku, meski itu buku pinjaman dari senior.
Adalah hal biasa, saat berkumpul di sekretariat, kita saling menceritakan buku terbaru yang sedang kita baca dengan dada membusung. Meski dalam hati harus menguatkan sabar, telah mengorbankan jatah kirimkan bulanan demi buku.
Kita saling menguatkan diri dengan menjadikan kisah para pemimpin besar dengan koleksi bukunya yang bejibun. Bahkan kita saling menghibur diri bahwa kader Kohati adalah perempuan-perempuan yang siap menerima lamaran dengan mahar sejumlah buku koleksi.
Mungkin terkesan naif, tapi demikianlah kami, terutama aku pribadi memahami dan menghayati HMI. Dengan buku. Sebab tak pernah terlintas dalam kesadaran, menjadi kader HMI yang mumpuni, tetapi miskin bacaan dan bahan pustaka.
Bahkan, kala itu, masih ada sejenis perpeloncoan terkait buku. Jangan pernah berharap punya kesempatan duduk semeja dengan senior bangkotan, bila dirimu belum menamatkan buku-buku babon yang disyaratkan secara tak formal untuk dibaca.
Jangankan bercakap, sekadar menyajikan segelas kopi pada para dedengkot itu, mensyaratkan pemahamanmu pada pustaka tertentu. Mereka akan memintamu meyakinkan tembok dengan kemampuan beragumenmu, sebelum mengizinkanmu duduk bersama di majelisnya.
Tapi justru tradisi sedemikianlah yang memaksa kita untuk mengakrabi buku, dan mematri di ingatan bahwa tradisi HMI adalah miniatur peradaban kitab. Menjadi kader HMI berarti menjadi pembaca yang liat dan penulis yang ligat.
Tapi itu dulu, saat HMI masih begitu feodal memapankan senioritas berdasarkan kadar intelektualitas yang diukur secara material berdasarkan penguasaan akan berbagai narasi dan wacana, serta banyaknya koleksi bacaan.
Mungkin saja akan berbeda dengan sekarang, saat HMI menjadi kian egaliter, dalam arti tak ada lagi sekat antara kader, sehingga yang baru saja lepas LK I, dengan santai menyapa mereka yang telah ditahbiskan sebagai gembong HMI, dengan guyon: 'Adakah, Kanda?'
Apakah HMI melupakan buku? Mungkin tidak, sebab toh memori gawai kader-kadernya sesak dengan e-book beragam tema. Tapi apakah mereka membacanya? Entahlah. Sebab jarang kita temukan lagi narasi besar lahir dari berlapis-lapis generasi kader HMI.
Daripada berpose dengan bahan bacaan, dan lalu menjadikannya status di akun media sosial, sepertinya sebagian kader HMI hari ini lebih suka mewartakan kebersamaannya dengan pihak-pihak, terutama senior yang bisa ditodong dengan kata pemungkas: 'Petunjuk! Senior!?'
Kulipat renungan ini, kala kopi yang lebih besar porsi susunya dalam gelas dengan logo KAHMI, telah tandas. Toh, malam juga kian larut, bergadang tak lagi bersahabat dengan tubuhku yang kian menua.
Buku-buku yang tadi kutarik dari lemari, kubiarkan terserak di atas meja, berharap akan dibereskan oleh istriku yang alumni Kohati. Perempuan yang lebih menyukai mendengar aku menceritakan hasil bacaanku, daripada dia baca sendiri.
Aku teringat pada sebuah kalimat di pembatas buku, yang menurutku, pesannya layak disampaikan pada kader dan alumni HMI yang mencintai buku-buku, di manapun mereka berada. Bunyinya begini: Wahyu pertama itu, bacalah! Bukan koleksilah!
Bahagia HMI
Muhammad Kasman. Staf Departemen Kajian Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Etika MD KAHMI Kota Makassar periode 2021-2026
Tidak ada komentar: