Tidak ada hal yang lebih melegakan daripada menjadi diriku sendiri. Dan, Aku pun menjadi Intan seperti saat ini. Aku selalu percaya bahwa persahabatan yang sejati akan terus tumbuh dan melahirkan ketulusan yang baru. Dan perasaan itu selalu terbukti saat aku bersama lima sahabat terbaikku yaitu Fira, Zahra, Indah, Jeninda, dan Rima. Mereka tidak hanya teman, mereka adalah tempat di mana aku bisa bernafas lega, tanpa perlu berpura-pura. Kami sudah bersama sejak SD, dan walaupun banyak hal berubah, satu yang tetap: persahabatan kami.
Sejak kecil, Fira adalah orang yang paling berani berpendapat. Aku ingat, setiap kali ada sesuatu yang salah, Fira selalu jadi yang pertama angkat bicara. Dia bukan orang yang suka basa-basi. Jika ada yang menurutnya tidak benar, dia akan dengan tegas mengatakannya. Waktu kami masih di SD, Fira pernah membela seorang teman yang diperkusi di depan banyak orang. Dengan gagah berani, Fira menentang si pembully dan membela korban bulyyan. Itu membuatku sadar bahwa keberanian seperti Fira bukan sesuatu yang dimiliki semua orang. Di antara kami berlima, dia adalah yang paling tegas, dan aku selalu mengagumi itu darinya. Kadang-kadang aku takut dianggap menyebalkan karena tidak selalu setuju dengan pendapat orang lain, tapi Fira selalu mengingatkanku bahwa mengatakan hal yang benar adalah bentuk kepedulian.
Lalu ada Zahra. Jika Fira adalah sosok yang berani, Zahra adalah lambang kesabaran. Dia adalah tempat kami mencurahkan perasaan saat semuanya terasa berat. Tidak banyak bicara, tapi ketika dia berbicara, kata-katanya selalu menenangkan. Saat kami berdebat—karena, ya, dalam sebuah persahabatan tidak selalu damai—Zahra yang selalu bisa menengahi. Aku ingat suatu hari ketika aku dan Fira bertengkar karena hal sepele. Aku merasa benar, Fira merasa benar, dan semuanya menjadi ribet. Tapi Zahra, dengan suaranya yang lembut, berhasil membuat kami berdamai hanya dengan mengatakan, “Kita disini bukan untuk mencari siapa yang benar, tapi untuk saling mendukung.” Kata-kata itu menempel di pikiranku hingga sekarang.
Indah, di sisi lain, adalah sumber kebahagiaan kami. Dia yang paling sering mengajak kami melakukan hal-hal yang seru dan asik. Saat masih di SD, Indah selalu punya ide untuk bermain petak umpet, menggambar, atau bahkan menjelajah tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi. Ketika kami bertemu kembali di SMA, sifat Indah tidak berubah. Dia tetap jadi sosok yang paling suka mengajak kami berpetualang. Suatu ketika, saat kami semua sedang stres dengan ujian, Indah tiba-tiba mengusulkan untuk pergi ke pantai di akhir pekan. Awalnya kami ragu, tapi Indah berhasil meyakinkan kami bahwa mengambil jeda dari rutinitas akan membantu kami lebih segar. Ternyata benar. Bersamanya, aku selalu merasa hidup lebih berwarna.
Kemudian ada Jeninda, yang paling muda di antara kami. Karena itulah, kami sering menganggapnya sebagai adik kecil. Meski paling muda, Jeninda adalah salah satu dari kami yang paling cerdas. Di SD, dia selalu jadi yang pertama mengerjakan PR dan membantu kami jika kesulitan. Di SMA, meskipun kami sudah lebih dewasa, Jeninda masih tetap menjadi adik kecil kami. Kadang dia agak manja, tapi kami menyayangi sisi manja itu. Dia adalah pengingat bagi kami semua bahwa tidak apa-apa untuk sesekali meminta bantuan atau menunjukkan kelemahan kita. Menjadi muda, Jeninda selalu menghadirkan keceriaan yang tak tergantikan.
Dan akhirnya, ada Rima. Dia adalah si periang yang tak pernah gagal membawa senyum di wajah kami semua. Apa pun yang terjadi, Rima selalu bisa tersenyum. Bahkan ketika dia sedang disakiti atau mengalami hal buruk, Rima tetap bisa tersenyum dan menghadapi segalanya dengan ringan. Mungkin dia tidak akan mengakuinya, tapi aku tahu bahwa ada banyak hal yang pernah membuatnya terluka. Namun Rima, dengan segala kekuatan batinnya, selalu bangkit dan kembali ceria seperti biasanya. Kadang, dia juga yang paling heboh kalau soal gosip. Dia bisa duduk berjam-jam dan berbicara tanpa henti tentang kabar terbaru dari teman-teman di sekolah. Awalnya aku sering menghindar dari gosip, tapi Rima selalu punya cara membuat obrolan menjadi lebih lucu daripada menjengkelkan.
Kami selalu punya tradisi setiap ulang tahun: memberi kejutan tanpa absen sekalipun. Sejak kelas satu SD, tradisi ini sudah kami mulai. Saat itu, kejutan kami mungkin sederhana. Kadang hanya sekadar surat kecil atau cokelat dari kantin, tapi kebersamaannya yang membuat segalanya berarti. Ketika kami berpisah saat SMP dan berada di sekolah yang berbeda, aku sempat takut tradisi ini akan pudar. Tapi ternyata, meski jarak memisahkan kami, kami tetap setia melanjutkan tradisi ini. Ketika salah satu dari kami ulang tahun, yang lain akan memastikan kami tetap memberi kejutan, meski hanya lewat panggilan telepon atau pesan.
Setiap ulang tahun di antara kami selalu punya cerita yang tak terlupakan. Walaupun seringkali kondisi tidak mendukung—entah itu karena kami sedang tidak punya banyak uang, jarak yang memisahkan, atau keterbatasan kendaraan—itu tidak pernah menghentikan kami untuk merayakan momen spesial ini. Kami selalu berusaha agar setiap ulang tahun menjadi momen yang berkesan, tak peduli seberapa sederhana cara kami melakukannya.
Salah satu momen yang paling membekas di ingatanku adalah saat ulang tahun Rima. Waktu itu, kami berlima sedang benar-benar kehabisan uang. Tabungan kami nyaris kosong, tapi tidak ada yang mau melewatkan kesempatan merayakan ulang tahun sahabat kami. Setelah berunding, kami akhirnya sepakat untuk menyewa bentor (becak motor) agar kami semua bisa pergi bersama. Bayangkan, berlima naik satu bentor, berdesak-desakan sambil tertawa sepanjang perjalanan! Kami menempuh jarak yang cukup jauh untuk mencapai tempat perayaan kecil yang sudah kami rencanakan. Rima tentu saja tidak tahu apa-apa tentang rencana ini, jadi ekspresinya saat melihat kami muncul di tempat perayaan itu—dengan hadiah kecil yang sudah kami kumpulkan dari sisa-sisa uang kami—tidak ternilai.
Yang membuat semua itu lebih berkesan adalah bukan mewahnya perayaan, tetapi kebersamaan dan usaha yang kami lakukan untuk bisa tetap bersama. Bentor yang biasanya hanya memuat dua atau tiga orang harus rela mengangkut lima gadis yang penuh tawa dan semangat merayakan ulang tahun temannya. Saat kami tiba, Rima tertawa tak berhenti melihat betapa konyolnya kami berlima terjepit di dalam satu bentor. Dan itulah yang membuat momen itu sempurna—kesederhanaan yang dipenuhi oleh kebahagiaan tulus.
Setiap ulang tahun dari kami memang selalu punya kisah menarik. Kadang, ketika salah satu dari kami berulang tahun di saat jarak memisahkan, kami akan berusaha merencanakan kejutan meski hanya dengan panggilan video atau mengirimkan kado kecil. Bahkan ketika keadaan ekonomi sedang sulit, kami selalu menemukan cara untuk merayakan bersama, walau dengan keterbatasan yang ada.
Di balik setiap kejutan ulang tahun yang kami buat, selalu ada cerita. Mulai dari mengumpulkan uang secara diam-diam, mencari cara untuk bisa berkumpul, hingga merancang kejutan kecil namun bermakna. Mungkin tidak ada perayaan yang sempurna, tapi usaha dan kebersamaan kami itulah yang membuat setiap momen terasa sangat berharga. Dan sampai sekarang, setiap kali kami mengenang ulang tahun Rima dengan bentor itu, tawa selalu menyertai ingatan kami.
Saat kami bertemu lagi di SMA, meski tidak selalu sekelas, rasanya seperti pulang ke rumah setiap kali bertemu mereka. Aku tahu, di mana pun aku berada, mereka selalu ada di sana untuk mendukungku. Suatu kali aku terpuruk karena nilai ujian yang buruk. Aku merasa tidak ada yang bisa memahami kegagalanku. Tapi mereka tahu, bahkan tanpa aku perlu mengatakan apa pun. Suatu sore, sepulang sekolah, mereka mengajakku berkumpul di rumah Rima. Kami duduk-duduk, berbicara tentang hari kami, dan perlahan aku mulai merasa lebih baik. Tidak ada yang menghakimi atau memaksaku untuk berbicara. Mereka hanya ada di sana, hadir.
Di sinilah aku sadar, persahabatan kami tidak akan pernah luntur. Meskipun waktu terus berlalu, dan kesibukan semakin banyak, aku tahu bahwa kami akan selalu menemukan cara untuk tetap bersama. Fira, Zahra, Indah, Jeninda, dan Rima bukan hanya sahabat mereka adalah bagian dari diriku. Mereka adalah rumah kedua tempat aku selalu bisa kembali.
Aku mungkin akan bertemu banyak orang di sepanjang hidupku, namun hanya mereka yang bisa kusebut sebagai sahabat sejati. Mereka adalah penyemangatku, orang-orang yang selalu ada dalam suka maupun duka, dan yang selalu bisa membuatku kembali merasa utuh. Menyala selalu sahabatku.
Intan Permata Tahir. Tercatat sebagai siswa aktif di SMAN 1 Takalar. Anak kedua yang lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan ini, dirawat dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sederhana dan amat bersahaja. Oleh sebab itu, ketika Intan jatuh cinta karya sastra dan dunia peran, maka cintanya itu adalah cinta yang sejati. Dan berbekal kemampuan berbahasa Inggris yang aduhai, Dusun Bontokassi di Polongbangkeng Utara yang menjadi rumah bagi Intan, kini menjelma sebagai Kampung Digital Terperemai.
Tulisan keren. Teus berkarya ya.
BalasHapusTerima kasih pak/ibu guru
Hapus