Siruntuq La Méllong
Sepulang dari mengajar, biasanya ayahku menyempatkan diri ke sawah. Selain mengajar, untuk memenuhi kebutuhkan keluarga, ayahku juga bertani seperti warga desa pada umumnya, meski cuma mengerjakan sepetak sawah kecil sahaja.
Sesekali aku ikut ayah ke sawah, terutama bila musim tanam tiba, keceriaan yang akan aku ceritakan nanti bila ada waktu. Terkadang, sepulang dari sawah, aku curi waktu, segera berlari ke sungai untuk sekadar mandi, air sungai menjadi lebih hangat bila sudah menjelang magrib.
Pernah juga aku dihukum oleh ayah karena terlambat pulang dari sungai. Aku baru menjejakkan kaki di anak tangga saat sore sudah berlalu, rembang petang telah pun lewat. Saat mandi di sungai tadi, aku lupa bila sudah punya kesepakatan dengan ayah untuk tidak terlambat salat magrib berjamaah.
Karena ajakan Hasan dan teman yang lain, aku terus saja bermain petak umpet di air sampai hari betul-betul gelap. Maka dengan ikhlas kurelakan kedua betisku menerima cumbuan belebas kayu dari ayah.
Tentang hukuman itu, aku tak pernah menyoalnya, sebab aku tahu ayah tak pernah benar-benar marah padaku, atau ke adik-adikku. Ayah memang agak ketat untuk urusan salat, apalagi ayah yang guru madrasah, juga berindak sebagai naib bila imam tak hadir salat di masjid, atau khatib tak datang untuk berkhutbah di hari jumat.
Tentu tak elok juga, bila ayah sering memandu orang lain dalam urusan agama, sementara kami anak-anaknya, justru tak peduli. Meski berkali-kali diperingati, bahkan mendapat hukuman dari ayah, tetap saja tak menyurutkan kebiasaanku bermain di sungai bersama teman-teman.
Kesenangan apalagi yang kami cari kecuali dengan menikmati anugerah Tuhan berupa sungai yang airnya mengalir jernih sepanjang tahun -kecuali bila banjir menerjang dari hulu, dan dihidupi dengan ikan, udang, serta berbagai jenis tudé.
Sementara ibu, hanya sesekali mengingatkan agar aku menghindari beberapa titik di sungai itu, desas-desus menyebutnya sebagai kawasan ber-buaya. Buaya di sungai itu, intinya cuma satu menurut Uwak Bandu -peladang yang saban hari berendam di sungai saat pagi dan petang.
"Jangan pernah kau bilang buaya, bilang saja tau ri salo." Nasihatnya di suatu sore.
"Mengapa bisa begitu, Uwak?" Sergah si Husain, kawanku juga, saudara kembar dari si Hasan. Setahunya, juga kami, tau ri salo bermakna manusia sungai.
"Sebab sesungguhnya, antara buaya dan manusia itu bersaudara, tentu kalian pernah melihat atau mendengar manusia melahirkan anak kembar yang salah satu anaknya adalah buaya, kan?"
"Lalu mengapa Uwak berani menyebutnya?" Temanku Arif, yang biasa kami sapa Ife' menimpali.
"Sebab saya sudah kenal dengan mereka, bahkan buaya yang tinggal di lubuk sebelah sana, adalah saudara kembarku, hehehe..." Uwak Bandu berlalu sambil terkekeh. Sementara aku, Hasan, Husain, Ife', dan Pandu bergidik sambil menatap ke arah lubuk yang ditunjuk oleh Uwak Bandu.
Konon di bawah pohon beringin itu, di bagian sungai yang cukup dalam dan tenang, sering muncul buaya berenang di sana. Tapi selain itu, di lubuk itu pulalah, Baha' sering memasang pancingnya di sore hari, dan mendapatkan tangkapan massapi besar di pagi hari.
* * *
Seperti malam-malam sebelumnya, menjelang tidur, ayah akan berbagi cerita dengan kami. Bermacam perihal kami bahas, kadang berupa fabel, atau kisah-kisah teladan dari masa lalu. Tak jarang juga cerita dari tokoh-tokoh lokal yang mempunyai kemiripan dengan Abu Nawas di Arab sana, atau Lebai Malang di tanah Jawa.
Malam ini, selepas kisah dari ayah, aku meredupkan mata sambil berharap bisa menjadi secerdik La Mellong, penasihat Raja Bone yang masyhur itu.
Suatu waktu, La Méllong memimpin misi diplomatik ke kerajaan Soppeng, yang terikat perjanjian persaudaraan dengan Bone dan Wajo. Sebelum memulai pembicaraan, rombongan La Méllong disambut di istana Datu Soppeng dengan jamuan kerajaan yang mewah.
Tapi yang membuat suasana menjadi sedikit tegang adalah tindakan La Méllong seusai bersantap, semua peralatan makan berupa piring porselen serta gelas kaca, dia lemparkan ke luar melalui jendela, sehingga seluruh perabot itu hancur berkeping-keping. Aksi itu diikuti oleh seluruh rombongannya.
"Puang, apa yang anda lakukan?" Protes seorang petinggi kerajaan Soppeng, La Sattu namanya.
"Mau bagaimana lagi? Demikianlah adat kebiasaan kami di Bone setelah makan, hehehe..." Jawabnya terkekeh, sambil membersihkan sisa makanan di mulutnya dengan tusuk gigi.
Mendengar jawaban La Méllong, para petinggi kerajaan Soppeng berpikir betapa makmurnya kerajaan Bone yang hanya menggunakan perabot makannya sekali pakai.
Ternyata, gertakan La Méllong membuahkan hasil, proses perundingan berjalan lancar tanpa halangan berarti dari kerajaan Soppeng. Meski begitu, La Sattu merasa bahwa perbuatan La Méllong harus dibalas.
"Jadi kapan kami bisa berkunjung melihat-lihat kebesaran saudara kami di Bone?" Pancing La Sattu.
"Jangan khawatir, datanglah bulan depan, kami akan mempersiapkan jamuan besar untuk saudara kami dari Soppeng." Jawab La Méllong sekenanya. La Sattu tersenyum simpul dan membayangkan kesempatan emas untuk membalas perbuatan La Méllong.
Maka ketika berkunjung ke Bone, rombongan kerajaan Soppeng yang dipimpin oleh La Sattu juga di istana Raja Bone.
Tapi begitu memasuki ruang makan, wajah La Sattu menjadi kucam, impiannya untuk membalas perlakukan La Méllong dengan melempar semua peralatan makan ke pelataran istana seusai jamuan, pudar sudah.
Rupanya, La Méllong sudah mengetahui niat La Sattu untuk membalas perbuatannya sehingga seluruh peralatan makan dalam jamuan itu, dia ganti. Piring porselen dia ganti dengan daun pisang, sementara gelas kaca dia tukar dengan potongan bambu. Cerdik, bukan?
"Betul Ayah, La Méllong betul-betul cerdik, mungkin bisa disejajarkan dengan Abu Nawas ya. Pantas saja saat beliau menjadi penasihat Arumpone, Bone bisa berkembang pesat."
"Iya, kecerdikan memang sangat dibutuhkan bagi kemajuan suatu negeri. Salah seorang bangsawan besar Wajo di zaman dahulu, La Tenri Tau namannya, Manddanreng Majauleng gelarnya. pernah berpesan kepada anak cucunya..." Ujar ayahku mengakhiri kisahnya.
"Apa pesannya, Ayah?" Tanyaku penasaran, sambil berusaha menahan kantuk yang mulai menyerang.
"Ajaq nasalaiko acca sibawa lempu, janganlah pernah dikau kehilangan kecerdikan dan kejujuran."
"Lalu apa itu kecerdikan, Ayah?" Tanyaku lagi.
"La Tenri Tau menjelaskan bahwa naiya riasenngngé acca, déq gaga masussa napogauq, déqto ada masussa nabali ada décéng malemmaé, mateppeq-i ri padanna tau. Yang disebut kecerdikan, bila tak ada kegiatan yang sulit dia selenggarakan, tak ada pembicaraan yang pelik dia tanggapi dengan perkataan yang lembut, dan ia percaya pada orang lain." Ayahku menjelaskan dengan panjang lebar sambil mengelus lembut kepalaku hingga aku tertidur.
Dalam mimpi, aku melihat La Méllong melempar daun pisang dan potongan bambu bekas minumnya ke pelataran istana, sambil tersenyum penuh arti ke arah La Sattu.
Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau
Tidak ada komentar: