Pahlawan Di Hatiku


Hari ini senin, tanggal 21 Oktober 2024 matahari bersinar terang, tapi entah kenapa rasanya berbeda. Namaku, Daeng Gaga masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Seharusnya aku fokus pada ujian akhir yang tinggal hitungan bulan lagi. Tapi pikiranku jauh melayang, memikirkan Tetta dan ibu yang setiap hari bekerja keras tanpa pernah mengeluh kepada anaknya. 

Pagi itu, aku sedang bersiap-siap ke sekolah, seragam putih abu-abuku sudah rapi kupakai, namun langkahku terasa berat saat aku mengintip ke dapur, melihat ibu yang sedang menyiapkan sarapan seperti biasa. Tangan yang mulai keriput tampak mengaduk nasi goreng di wajan, tapi aku bisa melihat lelah yang tersembunyi di matanya. 

“Daeng Ga'ga, sarapannya sudah siap. Ayo makan dulu sebelum berangkat”, suara ibu memanggilku. Aku tersenyum tipis, mendekat ke meja makan. "Iye, Bu, tunggu sebentar," jawabku.

Di saat aku mulai makan, suara motor Tetta terdengar dari teras depan rumah. Artinya Tetta sedang memanaskan motornya sebelum aku dan Tetta berangkat. Langkah kaki Tetta terdengar saat dia menuju ke ruang dapur dan berkata kepada saya "Sudah makan, Daeng Gaga?" tanya Tetta dengan senyum lelah yang selalu berhasil membuatku merasa sedikit tenang. 

"Alhamdulillah, Sudah, Tetta. Tadi makan sama Ibu." Aku menatap Tetta yang sedang duduk di kursi meja makan dan berkata "Kamu siap-siap ya, sebentar lagi berangkat sekolah. Jangan telat," pesan Tetta sambil duduk sebentar di kursi meja makan sambil mengambil nasi goreng yang sudah dibuat ibu tadi. 

Aku mengangguk, tapi rasanya sesak di dada. Tetta dan Ibu selalu begitu—selalu memikirkan anak-anak mereka, tanpa peduli kelelahan yang mereka rasakan sendiri. Mereka tak pernah memperlihatkan kesusahan, selalu ingin agar kami tetap fokus pada sekolah dan masa depan kami.

Tibalah aku di sekolah, pikiranku terus melayang-layang. Pelajaran kimia yang biasanya aku sukai hari itu rasanya sulit sekali masuk. Pak Muhsin, guru kimiaku, sedang menjelaskan tentang kimia unsur, tapi aku lebih sibuk memikirkan Tetta yang tadi pagi tampak lebih lelah dari biasanya. 

"Oh, Daeng Gaga, kenapa qi itu?" tanya Husna, sahabatku, yang duduk di sebelahku. Aku tersentak, tersadar dari lamunanku. "Eh, iya, Tidak ji," jawabku buru-buru, mencoba tersenyum. Tapi Husna tahu aku sedang tidak baik-baik saja. "Sepertinya, kamu lagi banyak pikiran, deh. Cerita saja kepadaku. Aku kan, sahabat terbaikmu," katanya lembut.

Aku menarik napas panjang. Sebenarnya aku ingin cerita, tapi entah kenapa rasanya sulit menjelaskan perasaan ini. "Aku cuma lagi kepikiran Tetta sama Ibu. Mereka kerja keras buat aku, tapi aku tidak tahu bagaimana bisa membalas semua kebaikan mereka," kataku pelan. Husna mengangguk mengerti.

"Orang tua memang selalu memikirkan kita, lebih dari diri mereka sendiri. Maka bersyukurlah memiliki orang tua yang sangat menyayangimu!” katanya penuh motivasi. “Tenang saja, kamu tidak sendiri! Aku selalu ada disampingmu. Pokoknya, kamu fokus dulu untuk sekolah. Kalau kamu sukses, pasti itu sudah cukup membuat orang tuamu bangga," katanya, mencoba menyemangatiku. 

Aku tersenyum sedikit, walau di dalam hati masih terasa gelisah. Husna benar, orang tua selalu memberikan yang terbaik buat anak-anaknya, bahkan jika mereka harus mengorbankan diri mereka sendiri. 

Hari demi hari sudah berlalu, dan rutinitas tetap berjalan seperti biasa. Tetta berangkat pagi-pagi untuk menuju ke kantornya , dan Ibu tetap sibuk dengan pekerjaan rumah tangga setelah itu ibu baru siap-siap menuju kantornya yang tempatnya lumayan jauh Aku sendiri mulai semakin sibuk dengan persiapan ujian akhir yang kian dekat. 

Terkadang, di malam hari, aku melihat Tetta duduk di teras rumah, termenung setelah pulang kerja. Aku tahu, meskipun Tetta tidak pernah mengeluh, pekerjaannya semakin berat.

Suatu malam, aku memberanikan diri untuk duduk di samping Tetta di teras rumah. Hawa malam yang sejuk terasa menenangkan, meskipun ada perasaan berat di hatiku. "Tetta capek Qi?" tanyaku pelan, memulai percakapan. 

Tetta tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Capek itu biasa, Nak. Yang penting, kamu fokus belajar. Nanti kalau kamu sudah sukses, Tetta tidak perlu susah kerja keras lagi, kan" katanya dengan nada yang selalu terdengar penuh semangat.

Aku terdiam, menatap wajah Tetta yang semakin menua. Aku tahu Tetta berusaha menyemangati, tapi aku juga tahu bahwa pekerjaannya tak seharusnya terus seberat ini."Tetta, aku mau kerja sambil belajar biar aku bisa bantu-bantu Tetta sama Ibu," kataku tiba-tiba, tanpa sadar bahwa kalimat itu terlontar begitu saja. 

Tetta menatapku dengan serius, lalu menggeleng pelan. "Kamu tidak perlu memikirkan itu sekarang. Sekolah maqi dulu dengan sungguh-sungguh. Kalau kamu mau bantu Tetta dan Ibu, sukseskan sekolahmu, itu sudah cukup buat kami." Aku tahu Tetta pasti menolak, tapi di dalam hati aku tak bisa berhenti merasa bersalah. Aku ingin bisa membantu, ingin meringankan beban mereka. Tapi Tetta benar, sekarang tugasku adalah fokus pada pendidikan. 

Waktu berjalan cepat. Ujian akhir semakin dekat, dan aku semakin sering begadang belajar. Suatu malam, saat jam sudah menunjukkan pukul 11, aku mendengar suara batuk Tetta dari kamar. Batuk yang keras, membuatku khawatir. Aku segera keluar dari kamarku dan melihat Ibu yang sedang mengantar segelas air hangat ke kamar Tetta.

"Bu, Tetta kenapa? Kok batuknya terdengar sangat parah ?" tanyaku panik.

Ibu hanya tersenyum kecil, meskipun wajahnya terlihat cemas. "Tettamu cuma kecapekan, Nak. Besok-besok juga sembuh," jawab Ibu, berusaha menenangkanku Tapi aku tahu, batuk Tetta tak bisa dianggap remeh. Aku merasa semakin bersalah karena tak bisa berbuat apa-apa selain menonton mereka terus bekerja keras seperti ini.

Esok harinya, meskipun Tetta masih batuk-batuk, Tetta tetap berangkat kerja seperti biasa. aku ingin memintanya untuk istirahat, tapi aku tahu Tetta pasti tak akan mau. Dia selalu bilang, "Aku kerja itu buat kalian, supaya kalian bisa hidup lebih baik nanti" Hari-hari terlalu berlalu dengan rasa cemas yang terus mengikutiku. Hingga akhirnya, tibalah Dimana aku takut dengan hari pengumuman hasil ujian. 

Aku merasa sangat tegang, dan takut mengecawakan orang tua yang sudah berharap kepada anaknya tapi ada sedikit harapan di dalam hatiku. Ketika aku membuka pengumuman hasil ujian, air mataku langsung mengalir. Aku lulus dengan nilai yang memuaskan. Aku sangat terharu atas semua pencapaian aku yang tidak sia-sia selama ini. 

Aku segera pulang dan mengabari orang tua ku, sampai dirumah aku langsung mencari orang tuaku dan berkata kepadanya dengan wajah yang sangat Bahagia "Tetta, Ibu, aku lulus! Dan nilainya bagus!" seruku begitu sampai di rumah. Ibu langsung memelukku, air matanya ikut mengalir. "Ibu bangga sama kamu, Daeng Gaga," katanya dengan suara yang bergetar. 

Tetta, yang duduk di ruang tamu, tersenyum lebar. Matanya tampak berkaca-kaca, meskipun dia berusaha menutupinya. "Kamu hebat, Nak. Tetta selalu tahu kamu bias!"

Hari itu, aku merasa sedikit lebih lega. Setidaknya, aku sudah membuat Tetta dan Ibu bangga. Tapi di dalam hati, aku tahu perjuangan ini belum selesai. Aku masih ingin melakukan lebih banyak untuk mereka. Mereka adalah pahlawanku, orang-orang yang selalu ada, tak peduli seberapa berat hidup ini.

Dan suatu hari nanti, aku berjanji, aku akan membalas semua pengorbanan mereka. Tetta dan Ibu telah memberi segalanya untukku, dan aku akan berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi mereka, seperti mereka yang selalu memberikan yang terbaik untukku.Tetta ibu tolong hidup lebih lama lagi karena engkaulah pahlawan yang sangat berarti dihidupku.


Nur Fadia Khairunnisa, Siswa SMAN 1 Takalar, Kelas XII MIPA 4


[Ulasan atas cerpen ini dengan judul JPahlawan Di Hatiku, dapat dibaca di sini]

Pahlawan Di Hatiku Pahlawan Di Hatiku Reviewed by adminisme on 10/31/2024 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.