Bunga Liar dan Rumput Liar


Musim muson telah berlalu meninggalkan bumi yang menghijau. Pepohonan berlenggak-lenggok gembira tumbuh subur karena telah diguyur hujan selama beberapa waktu lamanya. Bunga-bunga kembali bermekaran. 

Sang surya tak lagi malu-malu menampakkan dirinya di ufuk fajar. Demikian pula pemilik suara merdu, tak berhenti berkicau di celah dahan dan ranting yang kokoh. Semua bersuka cita menyambut musim yang baru. 

Berbeda dengan apa yang dirasakan oleh dua sahabat, Bunga Liar dan Rumput Liar. Di tengah kegembiraan, suka cita para penghuni lain planet biru ini, mereka menyimpan duka. 

Keduanya berkecil hati memikirkan nasib mereka yang tumbuh tanpa aturan, mereka berada dan hidup di mana-mana serta dianggap sebagai pengganggu. Kadang dihujat tak diharapkan. Meskipun demikian mereka tetap saling menguatkan. 

Di suatu petang, Bunga Liar membuka percakapan, "Hei kawan…., mengapa hari ini kamu murung sekali, ada apa? Apakah kamu baik-baik saja?" 

"Entahlah….", gumam Rumput Liar dengan lirih. 

"Ceritakanlah kepadaku, apa yang membuatmu saat ini sedih sekali. Apa yang bisa aku lakukan agar kamu dapat melupakan dan mengatasi masalahmu?" 

Kemudian sambil menahan sedihnya, Rumput Liar pun menumpahkan perasaannya kepada Bunga Liar. "Aku merasa bahwa hidup ini tidak adil bagi kita. Keberadaan kita di sini tidak ada gunanya, tidak membawa manfaat kepada siapa pun."

"Apalagi aku dianggap gulma yang numpang di sana-sini, menjadi pengganggu bagi yang lain. Bahkan bagi manusia, mereka enggan menyukaiku karena dianggap selalu merugikan, tak elok dipandang, selalu ingin disingkirkan dan dimusnahkan." Suara Rumput Liar berkesah.

"Tidak seperti kamu, sekalipun tumbuh liar, besar di mana-mana masih ada yang menyukaimu. Kamu cantik, indah masih sedap dipandang. Jika ada yang memetikmu, itu karena kamu disenangi dan mungkin akan menjadi hiasan serta disimpan di tempat yang indah pula. Tidak seperti aku….", kata Rumput Liar semakin lirih. 

Dengan sabar Bunga Liar menenangkan perasaan sahabatnya itu lalu berkata, "Sebenarnya terkadang aku memiliki perasaan yang serupa dengan kamu, tetapi aku tak ingin merusak diriku sendiri. Aku berusaha berfikir positif, mencoba menepis dan mengusir perasaan yang kuanggap keliru itu karena aku yakin kita semua adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa."

Lanjutnya, "Kita memang berbeda dengan yang lainnya, bukan berarti diciptakan sia-sia oleh Yang Maha Kuasa. Hiduplah dengan lapang dada sesuai takdir yang dianugerahkan kepada kita. Harus pasrah menjalani, agar hidup kita punya arti, tenang, dan tetap bersyukur."

"Sekalipun kehidupan kita berakhir tragis?" Sela Rumput Liar sedikit tenang. 

"Iya, meskipun kehidupan itu tak lagi milik kita. Kamu sadar tidak? Kamu memang ditakdirkan berada di bawah telapak para pejalan kaki, tumbuh rendah di atas tanah, tapi suatu ketika kamu sangat dibutuhkan dan dicari ketika mereka berjalan di atas lumpur." Ujar Bunga Liar.

"Kamu yang pasang badan dan tak mengeluh, sekalipun kaki-kaki mereka menginjak dan melukaimu. Kamu mampu menyelamatkan alas maupun kaki mereka agar tidak kotor dan amblas ke dalam tanah yang berlumpur, bahkan mungkin tidak terjatuh akibat jalan licin dan becek itu. Kamu tentunya bersyukur dan senang bisa berbuat sesuatu yang berguna kepada mahluk ciptaan Tuhan lainnya, bukan?"

"Selain itu, kamu menjadi bahan makanan bagi ternak mereka. Karena kamu…., kambing-kambing mereka dapat menghasilkan susu yang kaya nutrisi yang sangat bermanfaat untuk kesehatan. Sapi, kerbau dan ternak lainnya pun tumbuh sehat dan beranak pinak karena jasamu. Kamu dilumat hampir tak tersisa, tetapi kamu tak tersakiti."

"Kita memang lahir dan tumbuh di alam liar, bukan karena ingin menjadi pengganggu ataupun perusak. Tetapi demikianlah Tuhan menciptakan kita seperti ini. Setiap mahluk di muka bumi ini menjalani kehidupan sesuai takdir yang telah ditetapkan olehNya."

Sambil menghela nafas sejenak, Bunga Liar pun kemudian melanjutkan perkataannya, “Coba perhatikan saudara kita, pepohonan yang tinggi menjulang di sekitar kita. Ketika badai datang, angin kencang menerjang, merekalah yang pertama kali merasakan kemurkaannya. Mereka patah bahkan tumbang, tercabut akar dari tanah yang selama ini mereka tempati berdiri dengan gagah."

"Mereka juga tak luput dari keluhan manusia, karena mereka dianggap salah satu penyumbang sampah terbesar, mengotori lingkungan tempat tinggal manusia. Daun-daun mereka berserakan juga di mana-mana, tetapi tetap bisa dimaanfaatkan, diolah sebagai pupuk yang dapat menyuburkan lahan pertanian seperti sawah dan kebun-kebun manusia."

"Jadi ingatlah kawan, kamu jauh lebih baik dan berguna bahkan beruntung daripada aku dan mungkin juga dari saudara kita yang lain." Ujar Bunga Liar dengan lembut penuh kerendahan hati. 

“Maafkan aku saudaraku, aku terlalu larut dalam perasaanku sendiri, membuatku berpikir sempit dan hampir melupakan Zat yang menciptakanku. Sekarang aku semakin menyadari akan kekeliruanku dalam berpikir maupun dalam menilai sesuatu, bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa menciptakan sesuatu tak satupun yang sia-sia, semua ada faedahnya sesuai kadarnya masing-masing." Ungkap Rumput liar dengan nada penyesalan. 

"Jika hari ini adalah nafas kehidupanku yang terakhir karena harus dibabat demi indahnya taman sekolah, bersihnya pekarangan rumah ataupun kebun para petani dengan senang hati aku lakukan. Dan jika aku harus dimakan dan dilumat habis oleh ternak ataupun diberi racun hingga ke akarku, aku tidak akan meradang, aku rela, ikhlas menjalaninya karena demikianlah takdir hidup yang Tuhan gariskan untukku. Dan itulah penerimaan dan jalan yang terbaik bagi kita sebagai seorang hamba yang patuh."

"Aku hanya berharap dapat hidup berdampingan dengan manusia dan mahluk lainnya secara harmonis agar tercipta ritme kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang. Aku ingin bumi ini tetap lestari di tangan manusia yang peduli akan keasriannya.” Ucap Rumput Liar penuh harap.

“Aku sepakat dengan pendapatmu saudaraku. Aku juga menghendaki hal yang sama. Tadinya kita hanya berpikir dengan segenap ego, tentang diri kita sendiri, sehingga hampir melupakan hal yang sangat besar tentang keberlangsungan dan keberadaan bumi tempat hidup dan berpijak kita."

"Di samping itu, sekarang aku juga sangat lega dan senang, kamu tidak lagi dirundung kesedihan dan menganggap dirimu tidak berguna. Kamu sudah bangkit dengan semangat dan pola pikir yang baru serta lebih bijaksana." 

Dengan menahan haru, Rumput Liar Lalu berkata, “Aku juga berterima kasih telah mengingatkanku tentang banyak hal. Tidak pernah jenuh dan letih mendengar keluh kesahku selama ini. Aku tidak akan pernah mengkhianati segala kebaikanmu. Kita akan selalu tumbuh bersama di alam liar yang penuh warna ini. Ya…selamanya sahabatku!”

Akhirnya Bunga Liar maupun Rumput Liar sama-sama tersenyum bahagia karena telah menemukan makna hidup yang sesungguhnya.

Marlina, S.Pd. Guru SMAN 9 Takalar.

Bunga Liar dan Rumput Liar Bunga Liar dan Rumput Liar Reviewed by adminisme on 4/30/2025 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.