Kisah Masa Kecilku (Bagian 5)


Paccau-Caureng Na Pélloreng

Ini hari senin yang meresahkan, terutama bagi kami para murid. Semua bermula saat Kepala Sekolah memberikan pengumuman dalam sambutannya saat menjadi Pembina Upacara pagi tadi. 

Sudah jelang setengah sepuluh, dan belum ada pelajaran yang berlangsung. Bu Nurhayati, wali kelas kami hanya muncul di kelas sesaat setelah upacara, mereka datang untuk mempersilakan kami masuk kelas. 

Setelahnya, mereka berkumpul di ruang guru, sebagian lagi bergerombol di dekat pos piket tepat di samping pintu gerbang sekolah.

Kami, para murid, berbincang dalam suara yang penuh ketegangan. Beberapa orang yang tak ikut dalam perbualan, kulihat malah terdiam dan menggigil ketakutan.

Baha' seperti tercekat, Ife' sesenggukan, Hasan dan Husen memilih bermain dam dalam diam, hanya aku dan Pandu yang ikut membahas pengumuman Kepala Sekolah tadi. 

"Baya, kamu kan pindahan dari Jakarta, tahu apa itu imunitasi?" Tanyaku.

"Bukan imunitasi, tapi imunisatri." Tanggap Muli.

"Yang mana yang betul ini? Tasi atau Satri?" Kali ini, Erna yang protes.

"Yang betul adalah imunisasi." Jawab Baya kalem.

"Nah, itu maksudku. Apa itu?" Aku menatap Baya dengan penuh harap.

"Itu semacam pemberian obat agar kita kebal terhadap penyakit tertentu." 

"Kita akan diberi obat? Apakah itu pahit?" Muli bergidik.

"Bukan diminum, ini melalui suntikan."

"Pakai jarum?"

"Iya, pakai jarum."

Semua terdiam. Aku mulai membayangkan betapa ngilunya saat jarum suntik menyusup di sela daging pinggulmu. 

Aku pernah merasakannya saat terkena cacar air. Karena demamku lumayan tinggi dan sudah sampai tiga hari tak juga reda, maka disuntik menjadi pilihan utama dokter dalam mengatasi sakitku. 

Aku tergidik, kembali kurasai silu saat membayangkan metode pengobatan yang tergolong instan tersebut.

Sekira setengah jam suasana seakan tanpa arah, dari arah pintu kelas yang tidak tertutup,kami menyaksikan sebuah mobil putih khas rumah sakit memasuki gerbang sekolah. 

Di atapnya terpasang lampu panjang tiga warna: merah, biru, dan kuning, yang belakangan kuketahui bernama rotator. 

Di bagian kap depan, terlukis sebuah tanda tambah besar berwarna merah. Di sisi kiri dan kanan mobil tertulis secara terbalik sebuah kata: ambulance.

Dokter, perawat, dan mantri yang akan mengimunikasi kami telah tiba. Demikian informasi yang sampai ke telingaku dari mulut ke mulut. 

Suasana menjadi sedikit gaduh. Kulihat Ife' mukanya pias, Baha' tak bisa menahan gemetar, ia berlari berulang kali ke kamar kecil, kencingnya tak bisa dia ajak kompromi. 

Kulirik Ridwan, siswa paling pendiam di kelas kami itu hanya duduk di kursinya, tanpa suara, tanpa gerakan, mukanya kuyup oleh keringat.

Tunggu, mana Hasan dan Husen? Kulirik di tempat duduknya, si kembar tak ada di sana, kuintip ke balik pintu, di bawah meja, di belakang lemari buku, tak ada mereka. 

"Lihat, Hasan dan Husen melarikan diri!" Teriak Pandu tiba - tiba.

Kupandang ke arah yang ditunjuk, kulihat mereka berdua, si kembar itu, menyelinap di sela pagar bambu bagian belakang sekolah, tepat di dekat warung Puang Cinnong. Mereka berlari sekuat tenaga, menjauh dari sekolah.

"Iga cili? Siapa yang bolos?" Tanya Bu Nurhayati, sesaat setelah ia masuk ruangan dan menghitung jumlah siswanya.

"Hasan dan Husen, Puang." Jawab Muli, Ketua Kelas kami.

"Astagfirullah, apa mereka lebih takut pada jarum suntik daripada hepatitis?" Bu Nur menggeleng.

"Ha? Jadi benar kita akan disuntik, Puang?" Tanyaku, memastikan informasinya.

"Hepatitis? Apa itu, Puang?" Baya menyusul bertanya.

"Hepatitis itu sejenis penyakit pembengkakan di hati."

"Berbahaya itu, Puang? Ife'mengajukan soal.

"Tentu berbahaya, makanya kalian harus disuntik, agar kalian tahan terhadap virusnya." Terang Bu Nur, kami menganggung canggung, antara tak mengerti dan was-was menghadapi jarum suntik.

"Tapi kami takut disuntik. Puang." Suara Baha' terdengar bergetar.

"Jangan takut, Nak. Makkedai tau riolota, lebbi cau-caurengngé na péllorengngé. Lebih baik kalah dari pada penakut. Sebab kalah berarti berani menghadapi yang menang." Bu Nur menyemangati.

Nasihat Bu Nur membuat nyali kami yang sempat ciut, kembali menyala-nyala. Ya, kita bukan generasi penakut. Kita mungkin kalah, tapi kita berani menghadapi tantangan.

Sambil mengepalkan tangan, Bu Nur kembali bersuara lantang, "Bila ingin maju, jangan takut! Masa depan milik mereka yang berani mencoba hal-hal baru. Ilmu pengetahuan kian berkembang, songsong dengan berani."

"Imunisasi adalah salah satu hasil perkembangan ilmu pengetahuan sebagai upaya manusia membuat hidupnya kian baik, makin sehat." Lanjutnya.

"Bagi yang siap disuntik, kita siapkan satu butir telur rebus sebagai hadiah. Berani?" Tantang Bu Nur yang disambut teriakan gembira.

"Saya, Puang."

"Saya juga, Puang."

"Saya siap disuntik, Puang."

"Saya berani, Puang."

Bergantian murid menyatakan kesiapannya dengan muka semringah.

Tak lama, seorang perempuan muda berparas menarik memasuki kelas kami dengan membawa tas jinjing berwarna hitam, di lehernya tergantung sebuah benda yang punya kabel, konon untuk menguping bunyi jantung dan paru-paru. 

Kupandangi benda itu lekat.

"Ini namanya stetoskop, kamu mau coba?" Ujarnya padaku sambil meletakkan tas jinjingnya di atas meja guru.

"Apakah boleh?" Tanyaku sangsi.

"Boleh, ayo ke sini." Dokter itu melambai, aku mendekat.

"Coba pasang ini ditelingamu, dan tempelkan benda ini di dada kawanmu, suara apa yang kau dengar?" Dokternya tertawa, aku ikut tertawa. Dia manis, senyumnya sangat menawan.

Bu Nur lalu unjuk diri dan menyapa kami secara formal, lalu memperkenalkan dokter yang hadir di kelas kami itu. 

Namanya dokter Karmila, dia belum menikah, amboi apa pula gunanya kami mengetahui itu bagi bocah kelas empat sekolah dasar, yang mengelap ingus saja terkadang masih malas.

"Dokter Karmila yang akan mengimunisasi kalian. Apa kalian sudah siap? Siapa yang mau duluan?" Bu Nur mengedar pandang ke seluruh penjuru kelas.

Meski tadi sudah menggebu-gebu, melihat jarum suntik yang runcing, semua murid tertunduk, aku yang dari tadi mendekat, ikut mengkeret.

"Bagaimana kalau Ridwan saja, Bu. Sepertinya dia yang paling tenang dari tadi." Usul Baya.

"Baiklah, ayo Ridwan, jangan biarkan dokter Karmila terlalu lama menunggu." Seru Bu Nur, namun Ridwan tak bergerak sedikit pun. 

Terpaksa, seorang perawat putra yang sedari tadi berdiri di ambang pintu, maju dan mendekati Ridwan.

"Ayo, Dik. Sebentar saja, kok." Rayunya, Ridwan bergeming, mukanya kian kuyup. Bu Nur ikut maju, tapi tiba - tiba mundur dan membekap hidungnya.

"Wah, Ridwan! Kau ngompol!?" Rupanya, bukan cuma mukanya yang kuyup oleh keringat, celananya telah kuyup oleh air kencing.

Seisi kelas tertawa dan sejenak melupakan ketegangan yang melanda karena teror jarum suntik yang lumayan menakutkan. 

Setelahnya, proses imunisasi kami jalani, dimulai dari Muli, Baya, Erna, aku, dan Baha'. Masing-masing kami diberi sebutir telur rebus, juga semangkuk bubur kacang hijau.

Ife' dan Pandu tak jadi diimunisasi karena berhasil kabur menyusul Hasan dan Husen, bujang sekolah kami tak berhasil menahan laju lari mereka. 

Ridwan juga tidak diimunisasi, dia dijemput pulang oleh orang tuanya. Dari sepuluh orang kami sekelas, hanya lima yang berhasil diimunisasi.


Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau


Bagian 1

Bagian 2

Bagian 3

Bagian 4

Bagian 6

Bagian 7

Bagian 8

Bagian 9

Bagian 10

Bagian 11

Kisah Masa Kecilku (Bagian 5) Kisah Masa Kecilku (Bagian 5) Reviewed by adminisme on 11/05/2024 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.