[Tulisan ini merupakan pengantar pada buku Posideologi: Sehimpun Esai Tentang Islam, Tokoh, dan Negara, karya Itho Murtadha yang diterbitkan oleh Ellunar Publisher (November 2024)]
Medio tahun 80-an, buku karya pemikir cum aktivis sosial politik Iran terkemuka, Dr. Ali Syari'ati, hadir menjumpai khalayak pembaca tanah air. Risalah ringkas berjudul Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam (1994) tersebut bahkan menjadi semacam rujukan utama bagi aktivis muda muslim progresif di Indonesia kala itu.
Melalui bahasa sederhana, Syari'ati yang juga disebut-sebut sebagai salah satu arsitek revolusi Islam Iran di penghujung tahun 70-an itu, memaparkan model intelektual yang diurapi dengan nafas Islam. Ia menyebutnya rausyanfikr, istilah yang dicomot dari bahasa ibunya, Persia, yang berarti "pemikir tercerahkan".
Lalu apa tugas sejarah pemikir tercerahkan itu? Tak lain, mereka memilih untuk membersamai kaum mustadh'afin menancapkan pondasi ideologi, seperangkat prinsip yang jadi pijakan melakukan perubahan sosial. Mereka, rausyanfikr itu,"mencari cita-cita bersama, menciptakan cinta dan iman yang menyala di dalam jantung masyarakat tradisional yang korup dan beku".
Rausyanfikr tak semata menemukenali dan lalu mewartakan kenyataan, mereka memilih menceburkan diri dalam pergulatan ideologis, atau dalam interpretasi Jalaluddin Rakhmat dalam pengantar buku itu, "kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, dan menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah".
Kang Jalal -sapaan karib Jalaluddin Rakhmat, lalu menghampirkan rausyanfikr itu dengan sebuah terminologi khas dari Al-Qur'an, ululalbâb. Lebih jauh, Kang Jalal mendaku bahwa tak hanya karyanya, bahkan laku intelektual Syari'ati juga merefleksikan sifat-sifat ululalbâb, seorang intelektual yang tak hanya paham genealogi bangsanya, pun mampu membabar ide analitis yang berkelindan dengan normativitas secara brilian.
Terma ululalbâb sendiri telah banyak diulik oleh pemikir Islam sejak dulu, Ibnu Mandzûr dalam Lisân al-‘Arab memaparkan bahwa kata yang dinukil sebanyak 16 (enam belas) kali dalam Al-Qu'an ini terdiri dari kata ulû dan al-albâb. Kata ulû adalah bentuk jamak yang berarti ashâb (pemilik). Kata ulû dalam penggunaannya dijadikan frase dengan isim zhâhir (kata benda selain kata ganti) yang berarti pemilik. Mufradnya adalah kata al-lubb yang berarti inti dari segala sesuatu.
Bila menilik perihal rausyanfikr dan lalu diseartikan dengan ululalbâb oleh Kang Jalal, terlihat bahwa istilah ini lebih bergerak pada aras 'dari aqidah (teologi) ke revolusi (sosiologi)'. Intelektual kategori ini adalah mereka yang meletakkan ideologi masyarakat, kemudian bergerak bersama mewujudkan cita-cita ideologisnya. Meski ini soal intelektual, seperti ada ruang kosong yang tersisa, ruang keilmuan (epistemologi). Eksplanasi Ibnu Mandzûr pun demikian.
Ibnu Katsir melalui Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, seperti Syari'ati yang menetapkan rausyanfikr sebagai pihak yang berperan menafsir kenyataan dan lalu mengubahnya, ia menyebut ululalbâb sebagai orang yang memiliki serta menggunakan akal yang sempurna dan cerdas untuk mengetahui, menelisik dan berefleksi atas hakikat sesuatu agar keagungannya tersingkap.
Tapi pada titik ini terlihat, eksplanasi seputar ululalbâb kurang mengelaborasi lebih jauh terhadap konstruksi pengetahuan dan keilmuan yang menjadi pisau analisa dalam meneroka segala hal ihwal dan lalu menafsirkannya. Kita belum menemukan secara benderang model epistemologis yang menjembatani ideologi ke aksi. Bahkan dalam berbagai diskursus perihal ululalbâb kontemporer, kalau tidak berat ke ideologi, ya condong ke praxis.
Pada ruang inilah, hadirnya Posideologi dari Itho Murtadha menemukan relevansinya. Himpunan esai ini mengajak kita menilik lebih jernih pada sulur yang menghubungkan ranah ideologi dan wilayah praxis pada konsepsi ululalbâb. Judul yang dipilih menegaskan posisi esai-esainya, tak lagi di wilayah ideologi, bahkan melampauinya.
Tengoklah pada esai yang bertajuk Ilmu, Itho berusaha kembali membuka peta jalan diskursus perihal pentingnya intelektual Islam menegaskan posisi di antara empat model relasi antara agama dan ilmu yang diklasifikasikan Ian G. Barbour, melalui bukunya, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama (2002). Ian mencatat, setidaknya ada model relasi: konflik, independen, dialog, dan integrasi.
Sebagai orang yang meyakini keagungan agama dan keanggunan ilmu dalam porsi yang setara, serta keyakinan bahwa keduanya bersumbu pada poros yang tunggal, maka model relasi yang pas adalah integrasi. Soalnya kemudian, apakah memilih menjalankan islamisasi ilmu atau ilmuisasi Islam, komunitas muslim mayoritas belum juga bertemu kata untuk pilihan ini.
Bagi Itho, kedua cara pandang ini memiliki semangat yang sama, yakni bagaimana Islam bisa bersatu dengan ilmu, tetapi memiliki kerangka metodologis yang berbeda. Mengutip Kuntowijoyo -penganjur pengilmuan Islam garda depan, Itho menggambaran perbedaan antara islamisasi ilmu dan pengilmuan Islam. Jika islamisasi jlmu alurnya adalah dari konteks menuju teks, maka pengilmuan Islam beranjak dari teks menuju konteks.
Keberpihakan Itho pada pengilmuan Islam, tak hanya dia tegaskan secara filosofis dalam tulisannya yang berjudul Ilmu, tapi juga pada esai Posideologi yang juga menjadi kepala kumpulan ini. Di sana, Itho menggariskan urgensi ilmu -dibanding ideologi- sebagai panglima dalam menghadapi era the late capitalisme, kapitalisme lanjut. Ideologi bersifat kaku. Sementara ilmu pengetahuan bisa berlaku universal. Tegas Itho.
Tampak benderang pada esai Deotorisasi, keyakinan Itho akan kuasa ilmu -alih-alih ideologi- mengantarkannya pada keberpihakan terhadap daya kritis ala Farag Fouda yang harus terbunuh karena keberaniannya menyingkap kekelaman di seputar peradaban dan kepemimpinan politik Islam masa lampau melalui catatan-catatan perseptifnya dalam Al-Haqiqah Al-Ghaibah (Kebenaran yang Hilang).
Fouda menjadi bukti nyata dan benderang, bagaimana rezim ideologi tegak tanpa dialog, tanpa kerelaan berbagai kebenaran, tanpa kesiapan menerima yang berbeda. Ideologi melanggengkan kuasa dengan tangan besi, tanpa diskursus memadai yang mencerdaskan dan mengayakan perspektif.
Lagi-lagi, dalam Deotorisasi, Itho menegaskan bahwa itu bukan gerakan kaku selayaknya ideologi. Deotorisasi bekerja dalam logika 'melampaui'. Dibutuhkan otoritas-otoritas baru, dengan kualifikasi keilmuan yang mumpuni. Yang layak menyandang otoritas adalah mereka yang intelek, dengan penguasaan ilmu secara interdisiplin. Bukankah ini wujud ululalbâb baru? Beyond ululalbâb.
Sudut pandang Itho tentang kuasa ilmu begitu mewarnai kumpulan esai ini. Tulisannya kaya dengan sudut pandang yang berwarna, tetapi solid serupa mozaik. Dari mana dia bisa menulis dengan begitu indah? Tentu dari banyak membaca. Itho diurapi dengan tradisi literer yang mapan, dan limpahan bahan bacaan yang meruah.
Kecintaannya pada bahan pustaka juga menyeruak dengan kental pada esai Hatta dan Buku. Bahkan bagi Itho, retaknya dwitunggal proklamator bangsa ini, Soekarno-Hatta, adalah implikasi dari pengkhianatan terhadap model episteme yang terkonstruksi karena bacaan. Bagi Hatta -menurut Itho, Soekarno telah mengangkangi buku-buku yang ia baca.
Sikap Hatta yang terbentuk karena bacaan, mengingatkan kita pada fatwa Imam Ja'far ash-Shadiq saat menafsir ayat Al-Qur'an, "Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya" (Qs Abasa, 82:24). Imam ash-Shadiq menukil bahwa makanan yang dimaksud adalah ilmu -makanan ruhani, makanan jiwa.
Ini berarti bahwa, selayaknya manusia menelisik apa yang ia cerna di benaknya, dari mana sumbernya, dan apa mediumnya. Lalu, untuk menjawab soalan-soalan itu secara kritis ala ululalbâb, di situlah letak dibutuhkannya kecergasan epistemologis -bukan kelakuan ideologis- yang berbasis pada normativitas nan mapan sebagai penyaring.
Pada esai-esai yang dihimpun ini, Itho memperlihatkan bagaimana formasi nalar ululalbâb telah mendarah-daging padanya dalam memotret beragam tema: Islam, Tokoh, dan Negara. Sebagai intelektual muda muslim, penghampiran yang digunakan Itho tak lagi melulu tempelan normativitas atas fenomena ala Islamisasi Ilmu. Di sana kita temuan wujud nyata implementasi pengilmuan Islam.
Apa yang diramu olehnya dengan berbagai tema, tak lain adalah upayanya mengakrabkan publik pembacanya dengan pengilmuan Islam atau ikhtiar besar menggeser formasi nalar umat dari nalar ideologis/teologis menuju nalar epistemologis/ilmu. Sebuah upaya yang patut ditopang oleh mereka yang prihatin dengan wajah tafsir agama yang terlalu skripturalis/tekstual.
Semangat, Itho!
Muhammad Kasman, Anggota Departemen Kajian Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Etika MD KAHMI Kota Makassar 2021-2026
Tidak ada komentar: