Aku, Kenangan, dan Sahabat (4)


Setelah aku tuturkan dengan jujur perihal pelik yang menggelayut di reranting jiwaku yang rawan, sekarang aku akan mengajukan pertanyaan serius padamu, bisakah aku percaya bahwa engkau tak akan mengecewakanku dengan jawaban sekadarnya? 

Bagaimana bila ada sahabat yang memintamu, bahkan memaksamu untuk melupakan kenangan persahabatan dengannya karena engkau menolak harapannya yang menuntut lebih dari sekedar sahabat?”

Apa jawabanmu atas tanya sedemikian? Aku yakin, dengan tingkat wawas diri yang tak jauh beda dariku, engkau akan mengalami rusuh hati yang sama denganku. Engkau masih kesulitan menemukan jawab, bukan? 

Baiklah kita simak saja tanggapan-tanggapan dari kawanku yang bisa menjadi bahan pertimbangan bagi kita berdua.

Coba simak saran yang ini, “Saya akan berkata, saat kamu tidak cukup kuat untuk meraih harapanmu pada seseorang, maka yang terbaik adalah membantu orang yang kamu cintai memperoleh kebahagiaannya, bukan malah menjebak dia dalam pilihan.” 

Sebuah saran yang lincah, ya? Memang seharusnya demikian, dengan jawaban seperti itu, aku telah membantu R untuk kian dewasa. Tapi akankah sesederhana itu? 

Aku yakin engkau akan sepakat denganku, bahwa Iman bisa menyarankan demikian, karena dia dalam situasi bebas, tidak sedang dalam situasi yang sama denganku, atau yang coba engkau rasakan atas permintaanku. 

Kalau ini, jawaban dari Sita, “Menurutku, harus diperjelas pada sahabat yang menuntut kita itu karena mungkin bagi kita sudah nggak ada apa-apa dengannya, tapi menurut dia belum jelas, karena bagi dia masih menggantung. Kalaupun aku diminta untuk melupakannya, itu tergantung diri kita. Bagiku, meskipun kecewa tapi sulit untuk melupakanya.”

Atau usul dari Santi, “Kalau saya sahabat anda, kemudian anda menolak harapan saya untuk jadi lebih dari sekadar sahabat, selain akan berusaha untuk ikhlas menerimanya, saya juga akan meminta kesediaan anda untuk berdoa, meminta dan berharap untuk sahabat itu agar mendapatkan yang lebih baik menurut Allah swt.”

Saat aku kian bingung dengan berbagai saran yang berseliweran, aku teringat kalimat indah Matsuoka, lewat ungkapan singkat tokoh Lord Kiyori dalam novelnya, "...yang paling nyata adalah apa yang kita pilih untuk kita anggap nyata.

Maka, kuputuskan untuk membiarkan semuanya mengapung dalam gumpalan awan-awan pilihan, yang akan menghablur dan mengkristal jadi hujan, bila saatnya tiba. Entah, butiran mana yang akan jatuh dan menerpa lalu mengetuk-ngetuk daun jendela kamarnya di sore hari. 

Bagaimana denganmu?


Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau


Bagian 1

Bagian 2

Bagian 3

Aku, Kenangan, dan Sahabat (4) Aku, Kenangan, dan Sahabat (4) Reviewed by adminisme on 11/25/2024 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.