Mungkin penasaran telah membelasah jiwamu menanti kelanjutan kisahku, aku pun demikian adanya. Tak sabar aku menanti komentar dan saran dari beberapa sahabat yang kumintai tanggapan. Memang, sudah berbilang jam pesan kusebar ke beberapa nomor telepon, belum satupun yang menanggapi.
Pesan balasan pertama muncul dari Santi, anak akuntansi pecinta jilbab ungu yang menurut gosip teman seangkatan, dulu pernah begitu mengidolakanku, tetapi tak pernah mau mengakuinya kepadaku demi menjaga harga dirinya.
Pantang perempuan bicara lebih dulu, apalagi soal rasa, begitu prinsipnya. Dia amat setia berpegang pada prinsip itu, bahkan hingga selesai kuliah dan dia pulang ke kampungnya di pulau Kalimantan, tak pernah sekalipun ia menunjukkan kecenderungan hatinya secara berlebih.
“Tidak adil bila kita menghapus sebuah kenangan, karena bila kita menghapusnya, berarti kita berbuat tidak adil pada jejak kehidupan yang sudah membina kita. Kalau memiliki harapan, masih bijak. Namun jika mengandung tuntutan, ego diri yang berbicara.” Demikian tulisnya.
Jawaban yang cukup melegakan. Aku tak harus menghapus kenangan perihal persahabatanku dengan R, demikian halnya dengan R, tak wajib melenyapkan kenangan kebersamaan kami dari ingatannya.
Akupun tak memiliki kewajiban memenuhi tuntutannya untuk menjadikan hubungan kami lebih dari sekadar sahabat. Demikian simpulanku dari jawaban Santi. Mungkin jawaban ini menguntungkan posisiku, tapi biarlah.
Pendapat kedua muncul dari Putri, teman cewek sejak dari SMA yang baru kembali menyambung komunikasi di tahun kelimaku sebagai mahasiswa. Putri ini seorang gadis yang terkenal dengan perangai balaki, perempuan perkasa.
Pemain sepak takraw SMA, bahkan sampai ikut Pelatda tingkat provinsi ini berpesan, “Ya nggak adil dan nggak bijak. Bagiku, sahabat adalah satu jiwa dalam tubuh yang berbeda dan sahabat yang terdekat adalah keluarga, sehingga dalam persahabatan tak ada perhitungan.”
Wah, filosofis juga jawabannya, meski terasa normatif, dan tak menyentuh substansi dilema yang aku hadapi. Sepertinya dia tak berhasil melihat pesan yang tersirat dalam surat pendek elektronik yang dikirim R.
Selepas tanggapan dari Santi dan Putri, tak ada jawaban dalam beberapa kala berikutnya. Maka kupilih meraih sebuah novel terjemahan, judulnya ‘Samurai: Jembatan Musim Gugur’ karya Takashi Matsuoka, kau pernah mendengar nama itu? Memang tidak terkenal, sih. Namun setidaknya, novelnya bisa menambat hatiku.
Matsuoka, setahuku baru menulis dua novel bersambung. Selain yang sedang kubaca ini, dia juga telah menerbitkan sekuelnya dengan judul, ‘Samurai: Kastel Awan Burung Gereja’.
Aku merasa sesuatu yang berbeda saat aku meraih buku ini begitu saja, karena begitu melihat ke sampul belakang, Matsuoka menyajikan seuntai kalimat yang disitirnya dari perkamen Aku-no-Hashi bertahun 1434. Bunyinya begini,
“Mengetahui masa depan dan mengetahui masa lampau adalah dua hal yang bermakna sama. Apa bedanya mengetahui hal yang wajar tak terelakkan dengan mengetahui apa yang telah terjadi?”
Coba baca sekali lagi, bukankah di sana tersurat makna bahwa kenangan tak lebih hanyalah apa yang telah terjadi, dan mengetahuinya bukanlah istimewa? Lalu, haruskah aku melupakan begitu saja kenanganku dengan R? Toh, masa depan hanyalah hal yang tak terelakkan.
Engkau tahu? Bukannya membantuku memecahkan tanya dari R, memegang buku ini kian membuatku larut dalam pelbagai pertanyaan perihal kenangan. Maka kuputuskan untuk membaca buku ini, sambil menunggu jawaban dari beberapa kawan yang belum merespon.
Engkau juga masih sabar mengikuti kisahku ini, kan?
Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau
Tidak ada komentar: