Mallopi Buraq
Tanpa aba-aba, Baha' dan Pandu segera beraksi memotong beberapa pohon tebu, sementara Oncong dan Ife' segera membersihkan daun tebu yang sudah bergelimpangan. Aku ikut membantu membersihkan dan mendekat ke Ife'.
"Jadi ini yang kau maksud dengan mencuri tebu, Ife'?"
"Iya, kenapa?"
"Kalau begini, kayaknya kita tidak mencuri, kan ini milik pemerintah."
"Saya bilang kita mencuri tebu karena kita mengambil tanpa meminta, hehehe..."
"Memangnya kita harus minta ke siapa? Ke Presiden?"
"Lahan tebu ini ada yang jaga, ada mandornya."
"Tapi kenapa saya tidak melihatnya?"
"Dia keliling, sejak jam tujuh pagi berangkat dari Arasoé, jadi biasanya dia baru sampai di daerah sini pada jam sebelas siang."
"Wah, tebu ini sampai ke Arasoé?"
"Iya, justru di sana pusatnya."
Aku dan Ife' terus saja bercerita soal jarak dari tempat kami sekarang ke Arasoé, yang lumayan jauh, mencapai lima belas kilometer. Tebu yang kami kumpulkan sudah lumayan banyak, mungkin sudah lima puluhan batang.
"Hoi... Jangan cuma cerita, yang sudah dibersihkan diikat, lima belas batang satu ikat. Ayo cepat!" Teriak Baha' dari dalam belukar tebu.
"Iya, ayo kita bergegas, matahari sudah mulai tinggi!" Balas Ife'.
"Nanti tiap orang akan membawa satu ikat, kamu bisa mengangkatnya kan?" Ife' melirik ke arahku.
"Jangan meragukanku, Ife'. Meski saya kurus begini, tapi kuat kok." Jawabku sambil memperlihatkan otot biseps di lengan kananku.
Setelah tebu kami ikat semua menjadi sebanyak lima ikatan, kami membopong masing-masing satu ikat ke arah sungai. Tebu-tebu itu langsung kami naikkan ke atas lopi buraq, rakit batang bambu, rakit yang besar kita muati tiga ikat, sementara rakit yang satunya cuma dua ikat. Kami lalu terjun ke sungai dan berpengangan di pinggir rakit yang mulai hanyut mengikuti arus. Rakit mengapung, membawa batang-batang tebu, dan menyeret kami yang tak henti berteriak-teriak girang, apalagi bila rakit meluncur di bagian sungai yang menikung.
"Huuuuuuu......."
"Kita akan maccumali sampai ke Pajjia. Jadi pegang yang erat, ada beberapa wilayah sungai yang agak dalam." Baha' mewanti-wanti.
"Ini seperti arung jeram yaaaaa....." Teriak Oncong.
"Apa itu arung jeram?" Pandu ikut teriak.
"Itu, yang naik perahu di sungai yang arusnya deras, biasa kita nonton kalau hari ahad siang di acara olahraga." Aku mencoba menjawab dengan suara keras, mencoba mengatasi suara arus.
Kami seperti berlomba, dua rakit saling susul-menyusul. Aku bersama Baha' dan Oncong, sementara Ife' di rakit yang satu berdua dengan Pandu.
"Harusnya kita ajak Qassam atau Hasan, agar seimbang." Suara Ife'.
"Qassam belum lancar berenang." Timpalku.
"Saya juga sudah mencoba memanggil Hasan tadi, tapi sepertinya dia belum bangun." Jelas Pandu.
"Jangan terlalu banyak bicara, hemat tenaga. Kita baru setengah jalan." Baha' mengingatkan.
"Tenang Baha', kita kan cuma berpegangan di rakit. Ini luar biasa." Ujarku yang baru pertama kali ikut dalam petualangan mencuri tebu.
Rakit kami terus mengalir mengikuti arus sungai, dan kami terus saja berteriak girang, bahkan Oncong sampai menyanyikan lagu Garuda Pancasila dan Indonesia Raya, entah apa hubungannya dengan petualangan kami.
* * *
Kami berkerumun di samping rumah Oncong, di hadapan kami teronggok lima ikat tebu. Selain kami, ikut datang Qassam, Hasan dan Husen, kakaknya Baha', teman kelas kami yang perempuan seperti Heri, Muli, dan Ros ikut hadir. Semua semringah, seperti prajurit yang menghadapi harta rampasan perang.
"Ayo kita bagi, toh kita tak mungkin menghabiskan semuanya." Seru Baha' yang memang paling besar di antara kami. Dengan cekatan dia membuka ikatan tebu, lalu mengangsurkan barang dua batang kepada semua yang turut hadir hadir. Sementara bagi kami yang ikut rombongan, masing-masing diberinya lima batang.
Sesampai di rumah, aku sudah dinanti oleh Ayah di kaki tangga depan, tepat di samping pintu masuk ke bilik tandas, semacam kamar kecil sederhana tanpa atap dan hanya untuk buang air kecil serta membasuh tangan dan kaki.
"Sandarkan tebumu di dalam, lalu bersihkan badanmu di sebelum naik ke rumah." Perintah Ayah. Tanpa suara, aku langsung masuk, kuraih gayung dari kulit bila, kulit buah maja yang telah dikeringkan dan diberi tangkai untuk pegangan. Kuciduk air dari gumbang, yang isinya sisa setengah, aku mandi. Kulirik Qassam yang sudah menyiapkan sarung, dia juga menyodorkan sabun mandi.
"Jangan lupa mengisi kembali pasu itu sampai penuh sebentar sore ya." Lanjut Ayah sambil beranjak ke atas.
Selepas mandi, aku beranjak naik disusul Qassam, rupanya Ayah duduk di kursi teras, seperti menanti diriku yang hanya berkain sarung.
"Dari mana kau dapatkan tebu itu?" Ayah menginterogasi.
"Aku mengambilnya di Kalaoda, ayah."
"Siapa yang punya? Apakah kau sudah memintanya?"
"Itu tebu pemerintah, Ayah, lagian tak ada yang menjaganya, jadi kami langsung mengambilnya." Jawabku cengengesan.
"Apa kau tahu kalau perbuatanmu itu sama saja dengan mencuri?"
"Kan itu milik pemerintah, Ayah, kalau kita mengambilnya apakah termasuk mencuri?"
"Tentu, tebu itu ditanam bukan untuk kau ambil, kan?" Tegas Ayah, aku cuma tertunduk lesu.
"Masuk sana, tebu itu jangan kau makan sebelum jelas apa boleh kau makan atau tidak."
Lepas duhur, dari dalam kamar kudengar Ayah bercakap dengan seseorang di depan pesawat televisi di ruang tamu. Aku keluar kamar dan mendekat, rupanya Pak Tajuddin. Sepertinya Pak Taju' –demikian kami menyapanya– akan menonton bareng pertandingan tinju Mike Tyson yang akan disiarkan secara langsung beberapa menit lagi di TVRI.
"Untung bapak datang, itu anak-anak dari mengambil tebu milik perkebunan di Kalaoda, bagaimana itu Pak?"
"Sebetulnya itu dilarang." Seru Pak Taju'.
"Jadi, bagaimana itu?"
"Mau bagaimana lagi, tapi lain kali jangan diulang."
"Nah, kamu sudah dengar? Pak Taju' ini kerja di perkebunan milik pemerintah di Arasoé." Ujar Ayah ke arahku.
"Meski tebu itu milik pemerintah, tapi tebu itu ditanam bukan untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat." Terang Pak Taju' sambil menepuk-nepuk pundakku.
"Tebu itu akan diolah menjadi gula oleh Pabrik Gula di Arasoé. Jangan lagi pergi mengambil tebu ke sana ya? Itu berbahaya, apalagi bila ketahuan oleh mandor, kalau mau makan tebu, bilang ke saya, nanti saya yang ambilkan." Pak Taju' menglus-elus kepalaku.
"Maaf Puang, aku tak tahu. Jadi bagaimana dengan tebu yang terlanjur kuambil itu?"
"Karena sudah ada di sini, ya silakan saja dimakan." Mendengar jawaban Pak Taju', aku melirik Ayah meminta persetujuan.
Begitu ayah mengangguk pelan, aku langsung berlari ke bawah untuk menikmati tebu.
"Wah, betapa manisnya. Ini baru tebu." Kataku sambil membuang sepah yang telah kukuras habis manisnya.
"Iya, apalagi tebu curian, hehehehe..." Timpal Qassam yang menemaniku menikmati tebu.
"Hahahahahaha......" Aku ikut tergelak.
Tidak ada komentar: