Panganjong Pasajang
Masih siang, Baha' sudah nangkring di dahan pohon Mangga Macan -lebih populer dengan nama Mangga Kweni- di pinggir jalan depan rumahku.
Mangga tak sedang berbuah, entah apa kepentingan Baha' memanjat pohon di siang bolong.
"Apa yang kau ambil di situ, Baha'?" Teriakku. Ahmad, sepupuku yang baru datang dari Ujung Pandang untuk liburan di Pakkasalo, ikut keheranan.
"Ini, mau ambil kajang-kajang." Balasnya dari atas sambil menunjuk daun lebar yang sudah kering dari sejenis benalu yang belum kutahu namanya hingga kini.
"Untuk?" Kali ini, Ahmad yang bertanya.
"Untuk dijadikan pasajang, layang-layang. Kan musim panen sudah hampir selesai, saatnya mappasajang, main layang-layang."
"Wah, asyik. Untukku juga ya."
"Kamu siapa?" Baha' memandang Ahmad penuh selidik.
'Sepupuku, Baha'. Dari Ujung Pandang. Baru datang kemarin sore." Terangku.
Tak lama, Baha' turun menyusul beberapa lembar kajang-kajang, yang sudah dia petik dan lemparkan turun. Setidaknya, dia mendapatkan lima lembar calon pasajang.
Daun berwarna kecoklatan tersebut, lebarnya bisa mencapai sejengkal orang dewasa dengan panjang yang lebih sejengkal. Pinggirannya melengkung ke dalam, dengan tulang daun yang kentara terlihat.
"Sekarang, tugasmu menyiapkan benang." Pinta Baha'.
"Baiklah, tapi buatkan juga untukku ya." Aku bernegosiasi.
"Eh, untuk Ahmad juga." Lanjutku.
"Tentulah, ini saya petik lima lembar."
Mendengar jawabnya, aku berlari ke atas rumah, membongkar laci mesin jahit ibu, dan mengambil satu gulung benang hitam.
"Nah, sekarang kita membuat tali parajo-nya dulu." Ujar Baha' saat aku mengangsurkan gulungan benang."
"Apa? Tali Perajut?"
"Bukan perajut, tapi parajo. Semacam tali kendali untuk menerbangkan pasajang. Sepupuku yang orang kota menyebutnya tali goci." Kali ini, Pandu yang muncul tiba-tiba di hadapan kami, ikut menjelaskan.
"Sini aku bantu." Lanjut Pandu sambil mengambil gulungan benang, mengurai, mengaitkan tengah benang ke ibu jarinya, kedua ujungnya dia pegang, setelahnya, dia pilih dengan teknik yang khas.
"Untuk apa dibegitukan?"
"Biar lebih kuat."
"Oh...."
"Itulah untungnya bergaul dengan anak petani seperti kami, kamu anak pegawai yang beruntung, jadi tahu banyak hal. Hehehehe...." Baha' mencandaiku.
Baha' mengukur kajang-kajang dan membaginya menjadi lima bagian, lalu dengan menggunakan pisau, dia melubangi pada titik seperlima dari arah pangkal.
Lubang kedua dia buat pada titik dua perlima dari arah ujung. Kedua ujung benang sepanjang dua jengkal yang telah disiapkannya, dia ikatkan pada tulang daun pas pada lubang yang telah dibuatnya.
Setelahnya, dia menarik tali ke arah samping, lalu dibuatnya simpul tepat pada bagian benang yang rata dengan pinggiran kajang-kajang.
Menurutnya, inilah rahasia untuk membuat pasajang bisa terbang dengan baik. Oh ya, Baha' juga menjelaskan bahwa benang parajo dipasang di sisi luar kajang-kajang.
"Sekarang, benang pasajang kita sambungkan ke bagian ini, tapi kita tidak bisa menggunakan benang biasa, terlalu tipis, nanti gampang putus."
"Lalu kita pakai apa?" Tanyaku.
"Kita pakai benang godang, saya sudah meminta Ife' untuk membelinya, tadi." Terang Pandu.
"Tapi dia belum datang, apa kita tidak akan terlambat?"
"Tidak, setelah panen begini, angin sore akan lebih baik untuk layangan, makin sore makin bagus." Jawab Baha'.
"Horeeee.... Akhirnya aku bisa main layangaaaaan...." Tiba - tiba Ahmad berteriak sambil melompat dengan tangan terkepal.
"Dasar orang kota, hahahahaha..." Ledek Pandu. Kami semua tertawa.
* * *
Pada sebuah kesempatan saat aku sudah dewasa, seorang warga senior dari kecamatan Sibulue -yang menaungi Desa Pakkasalo dan desa-desa di sekitarnya, mengatakan bahwa hidup dan karir seseorang, ibarat layang-layang.
"Layang-layang hanya akan bisa terbang tinggi bila ada yang tarik talinya, dan ada yang jadi panganjong-nya, mendorongnya dari bawah." Ujarnya.
Baginya, tak ada orang yang bisa sukses tanpa bantuan dan dukungan orang lain, pasti ada orang sukses yang menariknya dari atas, dan ada orang lain yang mendorongnya dari bawah, menjadi panganjong-nya.
Apa yang diungkapnyanya terasa mengena di hati, sebab pengalaman kami bermain layang-layang di masa kecil membenarkan hal tersebut.
Sekuat apapun kami menarik benangnya, sebagus apapun kualitas benang yang kami gunakan, sekencang apapun angin yang berhembus, itu semua tak akan membantu layang-layang mengudara, bila tak ada panganjong yang lihai.
Panganjong yang baik paham kapan harus mendorong layangan naik, kapan menahan. Mereka juga tahu bisa merasakan mana tiupan angin yang lama, mana yang cuma hembusan sesaat.
Ingatan itu membawaku pada suatu malam, sambil menikmati hidangan nasi panas bersama sayur daun katuk dengan lauk ikan kering, kami bercerita pengalaman bermain layang-layang.
"Wah, tadi seru sekali ayah, kita main layang-layang. Ternyata kajang-kajang bisa dijadikan layangan, meski memang tidak bisa terlalu tinggi terbangnya." Ceritaku berapi-api.
"Betul Puang, saya juga dapat. Ini unik, tidak ada layangan kajang-kajang di Ujungpandang, hanya layangan dari kertas minyak yang banyak dijual." Timpal Ahmad.
Ayahku tersenyum sebelum menanggapi. "Bermain layang-layang memang menyenangkan, dan memberi kita banyak pelajaran hidup."
"Bila kita berhasil menerbangkannya, ia akan mengangkat kita, terutama derajat dan kehormatan. Kita berbangga, layang-layang kita melambung tinggi." Lanjut ayahku.
"Demikian juga hidup, seperti pasenna tau riolota, akkai padammu rupa tau natanréakko. Angkat sesamamu, maka ia akan meninggikanmu." Pungkasnya.
"Berarti, bila kita ingin dihargai dan diperlakukan dengan pantas oleh orang lain, maka kita harus memuliakan mereka lebih dulu, begitu Ayah?" Kataku.
Kulihat ayahku hanya tersenyum, sambil kembali menikmati suapannya. Aku, Qassam, dan Ahmad melanjutkan makan dengan pikiran masing-masing. Pikiran yang kita lambungkan semumpama panganjong pasajang.
Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau
Tidak ada komentar: