Pasajang Na Pitu-Pitu
Sore seusai asar, areal persawahan telah ramai dengan bocah dan para remaja, bahkan lelaki dewasa. Hampir semua yang hadir menenteng pasajang.
Termasuk kami yang bocah, tapi pasajang kami berbeda, kami menenteng pasajang kajang-kajang. Di antara kami, hanya Ife' yang menenteng pasajang yang menggunakan rangka bambu dan kertas minyak warna warni.
"Ini model pasajang Merak, ekornya semarak seperti burung Merak." Terang Ife' dengan bangga.
"Wah, berarti kamu bisa bergabung dengan mereka." Seru Hasan.
"Iya, ini pertama kalinya saya ikut mappasajang dengan pasajang betulan." Terang Ife'.
Areal persawahan kian ramai, di beberapa titik terlihat asap membumbung dari pembakaran jerami yang menggunung. Kami para bocah memilih segera bermain pasajang kajang-kajang.
"Ayo kita berlomba pasajang siapa yang lebih tinggi terbangnya."
"Siapa takut?" Sergah Husen. Segera setelahnya kami mencari pasangan bermain. Husen memilih Hasan, Baha berduet denganPandu, aku berpasangan dengan Ahmad.
"Ahmad, kamu mau mencoba? Aku yang akan jadi panganjong."
"Baiklah, sini." Jawab Ahmad.
"Begitu saya berteriak tarik, kamu menarik benangnya sambil berlari ke arah sana ya." Pintaku.
"Oke, tak ada masalah." Ujar Ahmad sambil mengulur benang, sementara aku berjalan menjauh sambil menenteng pasajang kajang-kajang yang akan kami terbangkan.
Setelah benang terulur sekira dua puluhan meter, aku bersama Pandu dan Hasan yang jadi panganjong sudah bersiap. Ife'kami minta menjadi pemberi aba-aba.
"Satu... Dua... Tigaaaaaaa....." Teriak Ife'.
"Cepat Ahmad, lariiii....." Teriakku.
"Tarik Husen, tarik. Uluuuur... Tarik lagiiiiii...." Hasan mengarahkan Husen.
"Ahmaad, berhenti di situ, ulur talinya... Ya.. Tarik lagi...." Usulku sambil berlari mengejar Ahmad.
Kami mencoba saling melampaui tinggi terbang pasajang kami. Berlari dan berteriak di sela riuhnya suara warga yang hadir.
Kami menikmati sore itu dengan adrenalin yang terpicu maksimal. Keringat mengucur dari sekujur badan, kaki mungil kami yang tanpa alas dengan lincah mencari pijakan di sela pangkal batang padi yang mengering.
Kami tak menghitung siapa yang paling banyak memenangkan perlombaan, pasalnya berkali-kali kami berganti posisi dan bertukar pasangan saat yang bertugas menarik benang sudah kelelahan.
"Aduh, sudah. Saya sudah kehabisan nafas, hehehehe...." Ahmad menjatuhkan diri di pematang yang berumput. Aku juga memilih duduk, menyusul Pandu dan Husen, sementara Baha' dan Hasan sibuk menggulung benang.
"Benangnya kita simpan untuk besok." Seru Baha' sambil tersengal.
"Kita main layangan lagi, besok?" Ahmad kembali bersemangat.
"Iya, tapi bukan pakai kajang-kajang, kita akan membuat pasajang dari bambu." Baha' tersenyum.
"Kamu pintar membuatnya?" Selidik Ahmad.
"Tentu saja, pasajang Merak yang dipakai Ife' adalah buatan kami berdua, hehehe..." Baha' membusungkan dada.
Sambil merebahkan badan di pematang, kami memandang langit sore yang mulai teduh.
"Lihat, itu pasajang Merak kepunyaan Ife'. Sengaja kami pilih warna merah dan biru untuk ekornya, biar tetap kelihatan meski diterbangkan jauh ke atas." Baha' menunjukkan keluasan pengetahuannya tentang pasajang.
"Kalau yang warna kuning itu, pasajang siapa?" Aku menunjuk ke atas.
"Itu punya Daeng Matteru." Terang Pandu.
"Merak juga ya?" Ahmad menyela.
"Bukan, itu namanya model Jalakundi'." Baha' menjawab.
"Kok mirip?" Kataku.
"Iya, mirip kok." Ahmad membenarkan.
Baha' lalu menjelaskan bahwa setidaknya ada empat model pasajang yang populer di desa kami: Tumpi-Tumpi, Jalakundi', Janak, dan Merak.
Tumpi-tumpi merupakan model pasajang yang paling populer, bentuknya seperti wajik dengan bagian bawah yang lebih panjang.
Sementara Jalakundi', Janak, dan Merak, modelnya didominasi pada bagian badan yang berbentuk seperti bola yang tergencet.
"Oh, elips?" Seru Ahmad.
"Ya, seperti itulah." Imbuh Baha' lalu melanjutkan penjelasannya. Menurutnya, Jalakundi' dan Merak tidak memiliki kepala yang spesifik, namun mempunyai ekor yang mirip, seperti piramida buntung.
Merak menggunakan bulu ekor, sementara Jalakundi' tidak. Janak lain lagi, dia menyerupai Jalakundi', namun mempunyai bentuk kepala yang khas.
"Eh, ayo pulang. Sudah sore nih." Seru Husen sambil beranjak.
"Ayo, langsung ke sungai mandi, kan?" Teriak Ife' sambil berlari membawa pasajang-nya yang sudah dia turunkan.
"Iya, masih sempat ini, masih ada setengah jam sebelum magrib." Jawabku.
"Mandi di sungai? Wah, menarik." Mata Ahmad berbinar. Kami berlari menyusur pematang, menyeberang jalan, melintasi kebun, dan tiba di sungai.
* * *
Sesuai kesepakatan kami kemarin, sejak siang kami berkumpul di kolong rumah Baha' untuk membuat pasajang.
Uwak Masjidi juga hadir di tengah-tengah kami untuk membantu kami membuat pasajang, di depannya bertumpuk potongan-potongan bambu yang telah diraut seperti lidi dalam berbagai ukuran.
"Yang agak besar begini, untuk tulang belakangnya. Kalau yang ini, untuk fafa, tulang rusuk atau sayap. Makanya, di bagian ujung dibuat lebih tipis agar bisa dilengkungkan." Uwak Masjidi menjelaskan.
Hampir dua jam kami bekerja bersama menghasilkan dua pasajang Janak. Selepas Asar, kami sudah siap bergabung di areal persawahan.
Sore itu, suasana lebih ramai, selain kepulan asap pembakaran jerami, beberapa rombongan anynyarang pattéké, kuda beban meniti pematang dengan membawa berkarung-karung gabah.
Kami para bocah meneteng tiga pasajang, satu Merak yang dipakai Ife' kemarin dan dua Janak yang baru saja kami selesai buat.
Rupanya, selain lihai membuat pasajang, Uwak Masjidi juga telah menyiapkan benang yang sudah di-kallasa', benang yang sudah ditempeli bubuk beling, benang gelasan.
"Itu untuk adu pasajang di akhir musim, biasanya akan ada panitia yang ditunjuk Petta Desa," Aku mencoba menjelaskan ke Ahmad.
"Nah, kalau ini namanya pitu-pitu." Seru Ife' ke arah Ahmad sambil menunjuk sebuah benda menyerupai busur panah yang dia pasang terbalik di punggung pasajang-nya.
"Wah, kapan kau pasang?" Tanyaku, sebab waktu kami membuat pasajang, itu belum ada.
"Baru saja, makanya saya tidak ikut membuat pasajang, tadi. saya pergi membuat pitu-pitu di Kaddumpia, kawasan kebun rumbia." Terang Ife'.
"Apa itu pitu-pitu?" Bisik Ahmad.
"Pitu-pitu adalah sejenis alat musik sederhana, terbuat dari belahan pohon bambu ukuran semeter yang diraut kecil seperti busur panah, kedua ujungnya dibuat melengkung, lalu dihubungkan dengan bentangan pita yang terbuat dari daun rumbia, atau pita kaset." Jelasku.
"Oh..." Komentar singkat Ahmad.
"Kepunyaan Ife' menggunakan pita daun rumbia. Pitu-pitu akan mengeluarkan bunyi sejenis dengungan dengan nada khas bila pitanya tertipu angin. Selain dipasang di pasajang, kita juga biasa membunyikan pitu-pitu dengan cara mengikat pertengahan bambunya dengan tali sekira setengah meter, lalu kita putar." Seusai menjelaskan, aku segera berlari mengejar Ife' yang sudah jauh.
Bahagia sekali rasanya sore ini, aku bertugas menjadi panganjong, Ife' yang akan menerbangkan pasajang Merak, lengkap dengan pitu-pitu yang terpasang di punggungnya.
Dengan bangga aku meneteng pasajang menjauh, sementara Ife' terus saja mengulur benang godang, ini benang biasa, belum di-kallasaq.
"Bagaimana?" Teriakku.
"Terus lagi," balas Ife'.
Aku kembali melangkah sampai pada titik dimana Ife' memintaku berhenti dan bersiap memandu pasajang mengudara.
Dengan tarikan yang mantap, Ife' mulai menarik benang pasajang dan berteriak lantang, "Dorong..! Lepaskaaaaan...!"
Aku berlari menyusul dia yang mulai berlari, mengangkat pasajang, lalu melepasnya dengan teriakan, "Luttuuuu..... Terbanglah...."
Pasajang kami mengudara dengan stabil, dua pasajang Janak yang diterbangkan Pandu dan Husen juga demikian.
Sayup-sayup kami mendengarkan dengungan khas pitu-pitu di pasajang Ife' yang kian meninggi. Tak lama, dari arah utara, kami mendengar gerung pesawat terbang yang melintas.
Kami para bocah semringah dan berteriak lantang, "Kappala luttuuuuu...."
"Apa tidak akan menabrak layangan kita?" Kudengar Ahmad bertanya, tapi tak kujawab. aku lebih tertarik mendengar nyanyian dari gerombolan anak kelas lima dan enam, di sebelah timur.
Habibie, botak ulunna...
Nataro, kappala luttu...
Sambil menatap pasajang Merak Ife' dengan mata berbinar, diiringi dengung pitu-pitu yang mengeluarkan suara ritmis, aku ikut bernyanyi dalam hati.
Nasib pasajang yang sudah aku anjong dan diterbangkan Ife' meliuk-liuk di angkasa, ujung talinya diikatkan ke bonggol batang padi sisa di-sangki.
Mungkin demikian pula nasib kita dalam hidup, orang tua menyekolahkan, guru mengajari, lingkungan pergaulan turut mengawasi, tapi masa depan kita tetaplah tergantung usaha kita masing-masing.
Entah kita akan menjadi pecundang, atau bisa memenuhi harapan semua orang, seperti Pak Habibie.
Pada layang-layang, terutama pada pitu-pitu, kita belajar bagaimana cita-cita dan pengharapan baik, dilambungkan ke angkasa.
Ibarat doa, bunyi pitu-pitu menggema di petala cakrawala, menjadi kidung merdu bagi hamparan bumi, dan merambat naik ke lapis-lapis langit, memanjatkan ininnawa madécéng.
Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau
Alhamdulillah, tetap berkarya yang dapat membanggakan keluar daerah, profesi Dinda
BalasHapusCerita pelepas penat, hehehehe...
Hapus