Ancalé Na Kappala Luttu
"Woi, Baha'. Ajar dulu untuk membuat katiting." Teriakku sambil berlari ke arah Baha' yang lagi sibuk massangki, memotong batang-batang padi dengan arit.
Tanganku menggenggam tiga batang padi yang lumayan gempal, ukuran batang yang baik untuk menghasilkan suara katiting yang keras.
Katiting adalah sejenis alat musik tiup yang terbuat dari potongan batang padi. Pangkalnya dipotong pas sebelum ruas, ujung yang satu bisa di pertengahan ruas atau di ujung ruas.
"Perasaan tahun lalu saya sudah mengajarmu." Jawab Baha'.
"Iya, tapi bunyinya tidak sejernih bila kamu yang buatkan." Ujarku.
"Sini," serunya. Setelah batang padi dipotong seperti yang kuceritakan tadi, Baha' menarikku mendekat.
"Lihat, di sini kuncinya. Pegang pas di pangkal dekat ruas, lalu tekan pelan dan putar seperti ini."
Baha' mencontohkan dengan piawai, kulihat batang padi pada bagian yang dia pegang dengan jempol dan telunjuknya, perlahan retak.
"Dari sela retakan inilah sumber bunyi yang indah. Makin baik retakannya, makin indah bunyinya." Terangnya.
Saat aku sibuk mengatur retakan-retakan mungil pada pangkal potongan batang padi yang kupegang, dari balik gundukan jerami di samping kanan kami, Ife' muncul dengan senyum semringah.
Di tangan kirinya tergenggam benda berwarna hijau serupa corong yang dia sambungkan di ujung atas katiting-nya.
"Ife', apa itu?"
"Ini katiting, baru saja saya menyelesaikannya."
"Kok berbeda dari punyaku? Coba tiup." Pintaku. Sekali tiup, bunyi katiting Ife' sangat besar, seperti terompet berpengeras suara.
"Wah, bagusnya."
"Iya, aku pasangi pallendong. Saya pasang sendiri, agar bunyi katiting-ku makin besar."
"Oh, buatkan juga nanti ya."
"Gampang kok, cuma daun kelapa yang dililit-lilitkan. Hehehe..."
"Oeeee... Ayo ke sini, kita bakar-bakar ancalé!" Terdengar teriakan Oncong dan Qassam dari sawah sebelah.
Segera kami berlari ke sana, rupanya sudah ada Hasan, Pandu, Husen, Aco' mengelilingi api yang mereka nyalakan.
"Coba lihat ini," Qassam memamerkan ancalé-nya, ada lebih sepuluh ekor yang disatukan dengan cara memasukkan pelepah buah padi ke bawah kulit bagian tengkuk ancalé.
"Ayo kita bakar, saya ambil nasinya." Saat aku beranjak untuk mengambil nasi, ancalé-ancalé itu sudah mulai ditusuk dengan lidi kecil seperti satai sebelum ditancapkan di sekeliling api, dengan ujung atas yang condong ke api.
Aku datang membawa nasi berbungkus daun pisang, dengan disambut aroma gurih ancalé bakar yang sudah dilepas dari lidi penusuknya.
Ancalé bakar menumpuk di atas selembar daun pisang, begitu pun dengan nasi yang kubawa. Kami menikmati makan siang kami sambil sesekali saling ledek perihal bunyi katiting siapa yang paling bagus.
Seusai makan, kami langsung bertanding meniup katiting untuk membuktikan keandalan punya kami masing-masing, yang bunyinya jelek, diharuskan bersalto di atas tumpukan jerami segar.
Begitulah kami, menikmati musim panen di sawah, bekerja sambil bermain.
"Aku massangki dulu ya, nanti setelah banyak, kita bermain lagi. Ayo Qassam." Kutarik adikku untuk berpindah ke petak sawah milik keluargaku.
Ayah terlihat kepayahan memenuhi ketersediaan batang-batang padi yang sudah di potong, di sisi alat perontok padi yang dioperasikan oleh ibuku.
Sementara nenek, kulihat dia sibuk mengisi nyiru di tangannya dengan gabah, bulir-bulir padi yang baru dirontokkan.
Dia mengangkat tampian tinggi-tinggi lalu menumpahkan gabahnya sedikit demi sedikit ke atas hamparan terpal yang tersedia.
"Apa yang dilakukan Etta Nénéq?" Tanya Qassam.
"Itu lagi membersihkan gabah, dengan ditumpahkan dari tempat tinggi begitu, maka angin akan meniup potongan-potongan daun yang terdapat di sela-sela butir gabah." Jelasku.
"Oh, saya kira kenapa."
"Ayo angkat tumpukan itu ke dekat ibu, biar kita bisa menyelesaikannya segera." Ajakku sambil menggendong setumpuk besar batang padi yang masih disertai bulir-bulir padi, dan membawanya ke samping ibu.
"Simpan di situ saja." Seru ibu ketika melihatku mendekat.
"Oh ya, tolong pisahkan dua ember kecil gabah di karung itu ya." Pinta Ibu.
"Untuk apa, ibu?" Tanyaku sambil mengambil ember kecil yang menjadi alat takar.
"Untuk Nénéq Cakka, istrinya Uwak Ride'. Sebagai pembayaran béppa Apang." Terang ibu lagi.
"Kue Apang, Ibu? Adakah?" Aku penasaran dengan kue apam yang legit itu.
"Nanti Nénéq Cakka datang, biasanya kalau musim panen, dia akan menjual béppa Apang."
"Horeee... Kamu dengar itu, Qassam? Kita akan makan béppa Apang." Aku menggamit lengan adikku penuh semangat.
"Apang tabbesséq, heehehe..." Ungkapku membayangkan kue yang dibuat dari tepung beras, diberi ragi serta gula merah itu masih mengepulkan asap dari dandang, tepat di tengahnya merekah seperti bunga.
Mengetahui akan ada kue apam, aku bersemangat menyelesaikan pekerjaanku lalu berlari ke gundukan jerami di sawah Uwak Masjidi, aku bersalto di sana.
"Baha', tahukah? Ibuku akan membeli béppa Apang dari Nénéq Cakka."
"Benarkah?" Mata Baha' berbinar.
"Tentu, aku sudah menyiapkan dua ember kecil gabah sebagai pembayarannya."
"Wah, tentu akan nikmat sekali." Kali ini Ife' yang menimpali sambil tetap sibuk dengan pallendong untuk katiting barunya.
"Kamu juga akan membeli?" Tanyaku.
"Entahlah..." Mendung bergayut di pelupuk mata Ife'.
"Tak usah khawatir, kalau orang tuamu tidak membeli, aku akan memberimu sepotong." Ujarku.
"Alhamdulillah...."
"Eh. Ada pesawat.... Kappala luttuuu...." Tiba - tiba Baha' berteriak - teriak, menunjuk ke arah angkasa dan berlari kencang ke arah yang ditunjuk.
Ife' ikut berlari, aku dan Qassam juga turut serta, Hasan, Husen, Pandu, dan semua anak yang ada di sawah itu berlari sambil teriak kencang "Kappala Luttuuuuu..."
Kami berlari dan berteriak hingga lelah, sampai bayangan pesawat itu kian jauh di horison.
Dengan dada membusung karena puas mengejar pesawat terbang, dan bahagia bisa meneriakinya, kami melangkah kembali ke sawah tempat Baha' memanen padi.
Di sana, kami lalu sama merebahkan diri ke atas tumpukan jerami, tapi tak lama, kami lalu saling gulat, saling timbun, tak peduli miang padi menempel di kulit kami, tak peduli daun padi mengiris lengan kami, tak peduli sebentar malam kami akan gatal karena miang dan luka goresan itu akan perih.
Kami bersalto, jumpalitan, membanting diri di atas tumpukan yang empuknya lebih nyaman dari matras manapun. Kami baru berhenti saat terdengar suara ibuku berteriak.
"Nénéq Cakka sudah datang, béppa Apang sudah siap. Ini ambil, bagi dengan teman-temanmu." Serentak kami berlomba berlari ke arah ibuku.
Nénéq Cakka tersenyum ke arah kami lalu menatap cakrawala, ekor matanya mengikuti lintasan pesawat terbang yang kian mengecil.
Sayup terdengar mulutnya melantunkan penggalan Yabé Lalé (Ri Wakkang Matindro) yang ditulis oleh Damis Kattang.
Tuono mai La Baco / Tuono mai La Baco / Muénréq mallongi-longi / Alla...Tiroangngi décéng //
La Baco mi kurennuang / La Baco mi kurennuang / Rénréngnga ri décéngngé / Alla... Kuallongi-longi //
"Merdu sekali suaranya Nénéq Cakka, apa makna nyanyiannya itu. ibu." Tanyaku ke ibu sambil memasukkan sepotong kue apem dengan parutan kelapa mengkal.
Ibu mengelus rambutku lalu berujar, "Itu sebait doa, Nak. Pengharapan agar anaknya tumbuh dengan karir yang menjulang, agar bisa memberinya kesejahteraan."
"Aku juga akan menjadi La Baco untuk ibu, agar bisa memberi ibu, décéng." Aku bersandar di lengan ibu.
* * *
Malam, kami berkemul sarung sambil menggaruki lengan dan betis, menanti siaran film serial Aku Cinta Indonesia.
Di kampung kami, masih jarang keluarga yang punya pesawat televisi, barangkali baru dua orang, di rumah kami salah satunya. Itupun masih televisi hitam putih, dengan TVRI sebagai satu-satunya siaran yang bisa dijangkau.
Maka malam ini, hampir semua temanku di sekitar rumah, ada bersama kami di depan televisi. Rata-rata sudah memakai beddaq pica untuk mengatasi gatal dan konon bisa mempernyenyak tidur.
Biasanya kami sudah pada mendengkur sebelum siaran yang kami nantikan, tayang. Itu menjadi alamat bahwa sebagian besar temanku akan menginap.
Seperti malam ini, kami berkerumun menanti tayangnya serial yang judulnya sering disingkat ACI, tontonan favorit kami yang baru bertumbuh.
Di sana kami bisa belajar berbagai hal tentang nilai-nilai positif dalam kehidupan para tokohnya, seperti sikap bersaing secara sehat, sportivitas, persahabatan, kerjasama, saling menghargai, tanggung jawab, toleransi dan disiplin.
Seperti pelajaran kami di sekolah, semua dikisahkan dengan baik dalam lakon Amir yang dimainkan oleh Agyl Syahriar, Cici oleh Dyah Ekowati Utomo, dan Ito oleh Ario Sagantoro.
Aku cinta...
Aku cinta...
Aku cinta Indonesia...
Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau
Tidak ada komentar: