Tebu Pemerintah
Mentari belum lagi muncul, ayam pun baru mendaratkan kaki di tanah, Pandu sudah muncul di kolong rumahku dengan tappi bangkung yang melingkar apik di pinggangnya.
"Ayolah, biar kita tak kepanasan di jalan." Seru Pandu yang terus mondar-mandir sambil sesekali memegang gagang parangnya.
"Memang kita mau ke mana?" Tanyaku dari atas.
"Kita akan berkelana, hehehehe....."
"Ah, kau ini, seperti Oma Irama saja."
Rhoma Irama bersama Yati Octavia memang lagi tenar dengan filmnya yang berjudul Berkelana, kami menontonya saat ada program penyuluhan Keluarga Berencana akhir pekan lalu di lapangan kecamatan.
"Jangan lupa bawa parang!"
Aku bergegas menjangkau parang ayah di bawah tempat tidurnya, sambil lalu aku teriak,
"Ayah, parangnya aku pinjam ya." Meski aku tahu ayah sudah ada di kebun belakang rumah, sementara memberi makan ayam-ayamnya, kebiasaanya setiap seusai subuh, apalagi ini hari ahad. Tanpa menunggu jawaban, aku menemui Pandu yang sudah mulai gelisah.
"Oncong dan Ife' sudah menunggu di pinggir sungai."
Langkah Pandu dibuat panjang, setengah berlari, seperti mengejar sesuatu.
"Kita akan berkelana ke mana ini?" Tanyaku. Aku berusaha menyejajarkan diri dengannya.
"Ke Kalaoda." Jawab Pandu singkat.
"Jalan kaki?" Aku melebarkan langkah.
"Ya, jalan kaki menyusuri sungai ke hulu." Pandu menjelaskan.
"Untuk apa?" Aku mencoba meraih bahunya.
"Ikut saja, ayo." Pandu berkelit.
Meski belum mengerti maksudnya, aku terus saja melangkah di sampingnya. Hanya beberapa menit, kami tiba di pinggiran sungai tempat kami biasanya bermain bola plastik. Seperti kata Pandu, di sana sudah menanti Oncong dan Ife' dengan parang masing-masing. Begitu melihat kami, mereka beranjak mendahului kami, seperti memandu perjalanan. Aku dan Pandu langsung menyamakan arah dengan mereka, kami menyusuri sungai ke arah barat. Di belakang kami, cahaya mentari mulai beranjak memanjat pagi.
Kami menyusuri bantaran sungai yang terjal dengan perlahan, setelah beberapa saat kami mulai menuruni bantaran yang lumayan licin ke tepi sungai yang berpasir. Ife' memimpin langkah paling depan dengan tergesa, disusul Oncong, Pandu, lalu saya.
"Kita harus bergegas menyusul Baha', dia yang tahu jalan." Seru Ife'
"Memang ke mana Baha'?" Selidikku setengah teriak dari belakang.
"Dia sudah berangkat duluan agar bisa menyiapkan bura, potongan batang pisang yang akan kita gunakan sebagai rakit pulang nanti." Terang Ife'.
"Memangnya kita akan melakukan apa di Kalaoda?" Tanyaku sambil bergerak cepat ke posisi tepat di belakang Ife'.
"Pandu belum memberitahumu?"
"Belum." Jawabku singkat, semua terdiam.
Aku melirik ke arah Pandu, kulihat dia melengoskan pandangan. Oncong pura-pura tak peduli. Pinggiran sungai kembali berganti dari pepasir menjadi lumpur yang menenggelamkan kaki hingga pertengahan betis. Kaki-kaki kami yang tak beralas menjadi kian berat untuk melangkah, untung tak terlalu lama kita kembali menjumpai pepasir. Tanpa komando, kami berhenti untuk sekadar membasuh kaki meluruhkan lumpur. Saat rombongan kecil kami kembali beranjak, kupegang lengan Ife' lalu bertanya.
"Kenapa tak ada yang mau memberitahuku apa yang akan kita lakukan di Kalaoda?" Tanyaku dengan muka tegas.
"Mencuri tebu." Jawab Ife' tegas.
"Ha? Mencuri!?" Aku kaget, lalu tertegun, kakiku terpaku, lengan Ife' kulepas perlahan.
"Ayolah, ini tidak seperti yang kau bayangkan." Oncong menyenggolku.
"Mencuri tetaplah mencuri..." Aku melangkah gontai.
"Engkau akan berubah pikiran nanti." Seru Pandu dari belakang.
Sepanjang jalan aku melangkah dalam diam, batinku bergolak mengenang nasihat imam Masjid Jami' Nur As Sholihin, Puang Saide' bahwa mencuri merupakan salah satu dosa besar di sisi Allah swt. Bila kami mengaji selepas magrib, Puang Saide' tak pernah lupa mengingatkan agar kami jangan sekali-kali mencuri, sebab hukumannya sangat berat, potong tangan. Dengan pikiran kalut, langkahku sudah melewati kawasan sungai di Bajo Rilau, kawasan Bajo Riaja sudah kelihatan, setelah itu, kita akan sampai di Kalaoda. Ketiga kampung itu masuk dalam wilayah Desa Pattiro Bajo.
Kami telah berjalan sekira sepenanak nasi saat dari jauh kami melihat Baha' melambai-lambaikan tangan kanannya yang menggenggam parang. Yang lain berlarian dengan riang menjangkau posisi Baha' berada, aku menyusul dengan mempercepat langkah, soal mencuri masih meringkuk di pikiranku. Di depannya tergeletak enam potong bura', batang pisang berukuran besar dengan panjang masing-masing satu meter.
Begitu tiba, aku langsung berdiri di depan Baha' yang sementara membuat rakit sederhana menusuk batang pisang dengan ranting pohon jambu biji yang lumayan lurus. Setiap rakit dirangkai dari tiga batang pisang, artinya telah tersedia dua buah rakit untuk kami berlima. Tapi aku tak peduli dengan rakit.
"Baha' teganya kau mengajak kami semua untuk mencuri!?" Ujarku sengit. Bukannya menjawab, Baha' mengedarkan pandang penuh tanya kepada yang lain.
"Kita ke sini untuk mencuri tebu, kan?"
"Oh, kamu sudah tahu?" Ucap Baha' datar, "Ayo kita menyeberang, agar kamu tahu bagaimana mencuri tebu itu sebenarnya."
Tanpa menunggu tanggapan dariku, Baha' mengajak kami semua menyeberangi sungai yang luas namun dangkal. Beberapa ratus meter di sebelah barat, malah kami melihat beberapa angkot menyeberangi sungai tanpa jembatan, langsung saja terjun membelah arus air sungai yang jernih. Di seberang, kami menerobos rimbunan semak belukar sekira lima puluhan meter, setelah itu kami menemukan lokasi yang lapang sekira sepuluh meter, di seberangnya membentang tanaman tebu sejauh mata memandang.
Aku terpana, belum pernah aku melihat hamparan tebu seluas ini, rata-rata tingginya sudah hampir dua meter.
"Ini punya siapa?" Tanyaku.
"Punya pemerintah." Seru Baha'.
"Untuk apa pemerintah menanam tebu sebanyak ini?" Lanjutku.
"Ya untuk siapa lagi kalau bukan untuk kita, rakyatnya." Terang Oncong.
"Maka tak ada salahnya kalau kita mengambil sedikit, meski tanpa meminta. Hehehehe..." Pandu menimpali.
Aku hanya bisa mengucapkan "Ooo..." sambil melongo melihat mereka saling melirik.
Tidak ada komentar: