Loka Anjoroi
"Ayo kita mulai berperang. Kami akan menjadikan kebun Petta Bate ini sebagai benteng, kalian membangun kubu di kebun sebelah ya." Ujar Hasan mengajukan syarat.
"Tak ada masalah, asal jangan menggunakan balliliq yang bisa menembak dua kali." Pandu juga mengajukan syarat.
"Memang ada yang bisa membuatnya?" Selidik Aco' penasaran.
"Baha' biasa membuatnya. Tapi tenang, tak ada yang menggunakannya di sini. Ayo mulai." Terangku.
"Tunggu, kita sepakat dulu." Sergah Oncong.
"Apa lagi?" Ife' mulai tak sabar.
"Siapa yang terkena tembakan sampai tiga kali dinyatakan gugur." Lanjut Oncong.
"Sepakat!" Seru kami serempak.
Kami berlarian menenteng balliliq masing-masing mencari titik sembunyi untuk melancarkan serangan.
Ife' sudah memenuhi badannya dengan berbagai dedaunan lalu merayap seperti infanteri, berlindung di balik pohon jati.
Aco' memilih jongkok dalam parit, hanya ujung balliliq-nya yang menyembul di sela rerumputan. Aku dan Hasan memilih berdiri lurus berlindung di balik pohon. Aku di pohon kedondong, Hasan di pohon randu.
Perlahan aku mengendap maju, berpindah ke balik pohon kelapa, lalu berguling ke parit, tepat di samping Aco'.
"Begitu saya maju ke balik rumpun bambu itu, kamu tembakkan balliliq-mu ke arah Pandu ya." aku memberi instruksi.
"Iya, tapi di mana Pandu?" Aco' penuh selidik.
"Itu di sana, coba lihat di rimbun semak itu, dia ada di sana, meringkuk dalam kubangan kerbau yang mengering." Terangku.
Pok! Terdengar balliliq meledak dari arah selatan, itu berarti tim Husen sudah mulai melepaskan tembakan, mereka mendahului kami menyerang.
"Tidak kena... Tidak kena..." Hasan berteriak girang disertai jogetan.
"Bagaimana?" Aco
"Kita tetap pada rencana." Aku.
"Baiklah." Aco
"Aku bergerak sekarang." Tanpa menunggu jawaban Aco', aku berlari sambil merunduk ke arah rumpun bambu.
Melihatku bergerak, Pandu mengangkat sedikit kepalanya lalu membidik. Pok! Aco' melepaskan tembakan sesuai instruksiku.
"Aduh! Aku kena!" Pandu menarik badan sambil mengelus pelipisnya yang terkena tembakan Aco'.
Melihat Pandu muncul di permukaan, aku menjatuhkan badan lalu berbalik, membidik, dan menembak Pandu.
Pok! Sekali lagi ia harus mengelus badannya, kali ini lengan atasnya yang terkena tembakan. Pandu menjatuhkan badan ke dalam kubangan.
Aku memanfaatkan kesempatan untuk segera merayap mendekati pangkal rumpun bambu. Tembakan yang dilepas Qassam menderu di atas telingaku, aku mengelus dada.
"Hampir saja, hufh."
Melihat aku merangsek jauh, Hasan berusaha mendekat ke arahku, dia berlari kencang, tapi menurunkan kewaspadaan. Tembakan Oncong tepat bersarang di dada kanannya.
Kami saling berbalas serangan sepanjang sore. Tak ada yang benar-benar menjadi pemenang. Sungguh sulit menyarangkan tembakan tiga kali pada seseorang.
Kita bersepakat mengakhiri pertempuran saat Uwak Tang sudah bergerak menggiring kerbaunya menuju kandang.
Tak lupa, sebelum pulang, kami berlomba mencelupkan badan, sekali dua kali celupan di sungai, sebentuk ritual mandi sore.
Selepas itu, kami berlarian pulang dengan hanya mengenakan celana, baju tergenggam di tangan atau tersampir di bahu. Butiran air yang masih menempel di badan, luruh di sepanjang jalan.
* * *
"Baha', mau ke mana?" Tanyaku sambil mengekor langkahnya menuju kebun Petta Bate, jelang duhur.
"Mau memanjat pohon jampu salo." Jawabnya sambil terus melangkah.
"Eh, sekarang kan bukan musim jambu?" Selidikku, aku berdiri menghadang langkahnya.
"Bukannya kamu harus ke sawah massangki?" Lanjutku.
"Saya akan ke sawah setelah ini." Baha' terus melangkah, memghindari hadanganku.
"Lalu apa tujuanmu memanjat?" Aku kembali mengejarnya, kugamit lengannya.
"Ibuku minta dipetikkan pucuk jampu salo." Jawabnya sambil bergegas. Aku terus saja mengekornya, penasaran dengan tujuannya memetik daun muda jampu salo.
Lumayan banyak pucuk jampu salo yang Baha' petik. Kembali aku mengikuti langkahnya menuju sawah, sekarang musim panen.
Sawah yang digarap ayahku telah selesai dipanen, sementara keluarga Baha' masih menjadi buruh panen dari sawah-sawah tetangga.
Setibanya di sawah, Baha' menyerahkan pucuk jampu salo-nya. Dengan sigap, ibunya menyambut daun tersebut lalu direndam di baskom kecil dan diremas-remasnya.
"Untuk apa itu?"
"Sebagai teman makan udang kecil kering ini." Jawabnya sambil membuka rantang bekalnya. Kami mengenal udang kecil kering itu sebagai peppiq dakko atau peppiq rakko.
"Oh, ulam jampu salo rupanya."
"Iya, hehehehe... Ayo makan bersama kami."
"Bolehkah?" Tanyaku. Tak membutuhkan jawab, aku sudah bergabung makan siang bersama keluarga Baha', beralas duduk tumpukan jerami.
"Kamu belum pernah makan beginian?" Tanya Baha' sambil menyikutku lembut.
"Kalau peppiq dakko sih biasa, tapi dimakan setelah diolah dengan cara ditumis." Terangku.
"Kalau dengan dedaunan begini?" Selidiknya lagi.
"Pernah juga sih, Etta Neneq-ku yang membuat, tapi bukan pucuk jampu salo."
"Jadi pakai daun apa?"
"Pakai pucuk daun simpor."
"Memang bisa?" Baha' mengalihkan pandangan ke arah ibunya.
"Bisa, malah lebih enak." Jelas ibunya.
"Betul begitu?" Kali ini Baha' kembali bertanya padaku.
"Menurutku sih begitu. Daun simpor yang muda, yang berwarna merah marun, begitu lembut dijadikan ulam." Mendengar penjelasanku, Baha' tak lagi berkomentar.
Usai makan, aku bersama Baha' berburu jangkrik. Ini pengalaman pertamakku, sebab di musim jangkrik yang lalu, aku terserang demam.
"Mana Ife'? Kok tidak nampak?" Selidikku.
"Oh, ia lagi ke Pao Keccié." Baha' menyebut nama kampung di perbukitan di sebelah utara desa kami, nama kampung itu bermakna mangga nan kecut.
"Mau apa dia ke sana?
"Mau ambil pisang dari kebunnya Puang Mardawiyah. Nanti bisa dibuat jadi pallu butung oleh ibuku." Terang Baha'.
"Asik... Saya boleh ikut menikmati, kan?" Ujarku dengan muka penuh harap.
"Boleh, datang saja besok ke sini, ajak Qassam juga." Kali ini ibunya Baha' yang menjawab.
Saat membahas pisang, saya langsung teringat dengan penjelasan Puang Aji Norma soal pisang yang jadi makanan khas orang Mandar.
"Baha', kamu ingat Loka Anjoroi? Yang dijelaskan oleh Puang Aji Norma tempo hari." Tanyaku.
"Iya, aku ingat. Makanan khas mandar, kan? Aku membayangkan bagaimana ya rasanya saat langsung dimakan atau ditambah dengan sambal terasi." Baha' menanggapi.
"Mmm... Kalau saya membayangkan saat dinikmati dengan ikan kering toppa. Kenapa jadi lapar begini? Hehehehe..." Aku menelan air liur.
"Kalian cerita apa sih? Sepertinya cerita tentang makanan ya?" Ibunya Baha' penasaran.
Baha' cepat menanggapi ibunya, "Memang soal makanan, Bu. Guru kami pernah menjelaskan soal Loka Anjoroi, makanan khas orang mandar."
"Oh, biasa juga disebut Loka Sattai atau Loka Roqdo itu. Bahkan ada juga yang mirip dengan pallu butung, namanya loka sari, dimasak dengan kuah santan." Ibunya Baha' menjelaskan.
"Ah, ibu makin membuat kita lapar. Ayo deh, mending kita mencari jangkrik, dari pada cerita makanan saja. Bikin lapar." Baha' menarikku menjauh.
"Coba cek di bawah léfo itu." Seru Baha'. Aku mengangkat pelan pelepah pinang yang ditunjuk Baha'.
"Baha', coba lihat!" Seruku.
"Wah, ini namanya keluarga jangkrik, hehehe..." Baha' dengan lincah bergerak menangkap beberapa ekor jangkrik yang besar,dan memasukkannya ke dalam jaba', kandang jangkrik dari pelepah rumbia kering.
"Kenapa tidak ditangkap semua yang besar?" Protesku.
"Kita cuma butuh yang jantan."
"Wah, kamu bisa membedakan jangkrik jantan dan betina? Hebat!"
"Hehehe... Itu biasa saja."
Kami masih melanjutkan pencarian.
Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau
*ilustrasi menggunakan AI
Tidak ada komentar: