…
ada melayang dari kampung
udara disesaki asap dan debu
ke mana malam yang tenang
tak terdengar lagi deru di pantai
kampung tak mengenalku lagi
Apa yang dirasakan Aspar, mungkin dirasakan oleh banyak orang, baik mereka yang merantau maupun yang bertahan (atau tertahan?) menjalani hidup di kampung halaman. Mengapa? Karena baik tanah rantau maupun kampung halaman, serta orang-orang yang hidup di atasnya terjerat dalam arus yang sama: perubahan dan saling pengaruh. Perubahan di tanah rantau, akan mempengaruhi kampung halaman dan manusia, demikian sebaliknya.
Kian canggihnya teknologi, makin termanjakannya manusia dengan berbagai aplikasi yang menyajikan segala macam hal berlabel instan, adalah semacam jerat yang membelit manusia dalam kehidupan urban dengan erat. Manusia digiring sampai pada situasi bifurkasi: bertahan atau ikut berubah. Tentu pilihan paling moderat adalah berusaha setia pada nilai dan kearifan kampung, tetapi tetap terbuka mengadopsi kepraktisan yang ditawarkan kemodernan.
Saat mengantar kumpulan puisinya Kuburan Imperium (2019), Binhad Nurrohmat menulis catatan Sejarah Pikiran, Sejarah Perasaan. Di sana, Binhad menyoal perihal posisi manusia di tengah altar realitas yang senantiasa berubah, “Bagaimana manusia merasakan realitas yang terus bertumbuh, bergerak, terpengaruh, dan berubah? Bukan hanya realitas yang berubah, perasaan pun berubah di dalam dirinya dan juga ketika perasaan menyentuh realitas yang ada” (2019:5).
Begitu lahan kebudayaan tempat manusia menyemai hidup (baik tanah rantau maupun kampung halaman) berubah, manusia ikut berubah. Di satu sisi manusia dimanjakan oleh berbagai fasilitas modern yang serba digital, saat yang sama, jiwanya sesekali diinterupsi oleh kerinduan akan kampung. Interupsi yang meyakinkannya tetap mendaku sebagai anak kampung, meski kesehariannya telah bertumbuh di atas lahan kebudayaan yang gersang, minim kepedulian pada nilai-nilai dan nir tata krama yang diurapi kearifan lokal.
Dalam situasi gamang itulah, Penerbit Pakalawaki menyodorkan buku bersampul merah menyala buah karya oleh Muchtar Djaya Daeng Rau (MDDR) dengan judul Maradekana Moncongkomba (MM). Kumpulan puisi keluaran September 2024 diakui oleh MDDR (hal. iii) sebagai refleksi mendalamnya terhadap berbagai aspek kehidupan yang tak bisa dipisahkan dari akar budaya, sejarah, dan kehidupan masyarakat Makassar, khususnya tanah kelahirannya, Takalar.
Kehadiran puisi-puisi dalam MM, seperti menjawab kerinduan mereka yang menetap di tanah kelahiran tetapi berjarak dari kearifan kampung, maupun mereka yang mukim di tanah rantauan dan berada jauh dari tanah kelahiran. Jarang penulis yang berani menempuh jalan terjal perubahan dengan berbekal puisi, apalagi puisi yang disajikan dalam bahasa Makassar dengan nuansa lokalitas yang kental.
Kerinduan semacam itu mungkin bisa diwakilkan pada kerinduan Moch. Hasymi Ibrahim dalam puisinya yang terangkum dalam kumpulan puisi Wasiat Cinta (2013) yang ditulis bersama Mimbar Penyair Makassar. Pada puisi Kirimkan Aku Sepotong Puisi (2013:31), Hasymi seakan bergumam pada angin yang berembus pelan.
Kirimkan aku sepotong puisi
Sepotong saja
...
Jangan sertakan kabar buruk,
Kali ini saja
…
Kapal-kapal yang datang dan pergi itu
Telah merampas nafas daun-daun kelapa
…
Engkau tahu,
Aku pasti pulang
…
Di tengah rendahnya minat baca masyarakat, khususnya terhadap buku puisi, diterbitkannya MM oleh MMDR merupakan sesuatu yang muluk. Meski demikian, MMDR tetap menyajikan MM dengan sangat imajinatif dengan daya rasa yang begitu reflektif dan kontemplatif. Bagi MMDR (hal. iii), MM diharapnya bisa menjadi ruang meditasi, sebuah wadah di mana nilai-nilai leluhur yang berbasis pada cinta yang lahir dari kearifan lokal bisa diserap dan dihidu.
Seakan mengamini Hasymi yang berjanji ‘Aku pasti pulang’ setelah meminta ‘Kirimkan aku sepotong puisi’, dalam pengantarnya untuk MM yang berjudul Di Antara Cinta dan Sejarah: Narasi Takalar dalam Puisi, MMDR (hal. v) mengakui MM sebagai persembahannya bagi semua yang merindukan kehangatan cerita lama dan masih percaya bahwa puisi bisa menjadi jembatan yang menghubungkan generasi dan waktu, dan lalu mengajaknya untuk meniti kenangan ke masa silam.
Keberanian MMDR menyodorkan MM, mengingatkan kita pada ungkapan M. Aan Mansyur. Dalam sebuah kesempatan, Aan berseloroh bahwa menulis puisi sama dengan memeluk. Bayangkanlah, MM hadir sebagai rentangan tangan MMDR untuk sebuah pelukan hangat, tentu membaca dan membahas MM dengan riang gembira, ibarat membalas pelukan itu. Lalu persamuhan ini adalah kisah tentang bagaimana kita saling merentang tangan dan berbagi kehangatan pelukan.
Saat mencoba mendekap puisi-puisi dalam MM, seakan MMDR berusaha meyakinkan kita bahwa muasal diri, temali nasib, jalinan cinta, jejak petualangan, dan garis kematian, semua bermuara pada kampung, dalam hal ini Takalar sebagai citraan dan acuan estetis dalam bahasa yang intim.
...
Lu’lukmi jekne matangnu nak
Nanu bajiki pa’maiknu
Siriknu sirikku, paccenu pacceku todong
Palewai nyawanu nani tontong bunduka
Nilema-lema passamaturukanga
Naki’minasa sunggu
Maradeka ri butta passolongang ceratta
Pilihan MMDR menggunakan bahasa Makassar yang merupakan bahasa ibu pembacanya, seperti pada puisi Jekne Mata Ri Paggentungan (hal. 20) di atas, menunjukkan ia menghindari penyampaian 'pesan' dengan cara yang ribet, dan berbelit. Ini adalah pilihan MMDR (hal. iv) sebagai refleksi kesadaran penuh untuk merawat dan melestarikan kekayaan bahasa yang mulai tergerus oleh perkembangan zaman, tanpa niat bereksperimen dengan cara pengucapan.
Waima punya hasrat kuat menjaga, bahkan mengajak pembacanya untuk bersetia pada tradisi dan kearifan lokal, ia juga sempat mengalami gegar budaya dan kegamangan sikap. MMDR tidak bisa secara jelas menunjukkan apakah ia bisa menerima dan diterima sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tradisi urban yang metropolis, tetapi juga tak membantah bahwa ini kini telah kehilangan kampung.
Seperti kata Binhad, "Puisi menyerap, meminta dan sekaligus mencurahkan sejenis realitas perasaan” (2019:7), membaca MM membantu kita memahami realitas perasaan yang coba dicurahkan oleh MMDR. Dalam puisi Saatnya Untuk Pulang (hal. 9), secara tersirat terbaca bagaimana MMDR mengungkapkan kebimbangannya untuk memilih tradisi atau modernitas.
...
Di alun alun kota panrannuangku
Tenang walau bising
Sejuk meski padat
Damai walau beda asal
Aku terbuai dalam lamunan
Terbawa arus rasa
Dalam damai tanpa batas
Dan...
Tersadar saat teman menyapaku
Waktu sudah sore
Saatnya untuk pulang
MMDR menunjukkan bagaimana Takalar sebagai ruang yang diwakili ‘Alun alun kota panrannuangku’ menjadi ruang pergumulan dua kutub budaya antara kemapanan tradisi dan progresivitas modernitas. Friksi itu diungkapkan dalam diksi yang kontradiksi: ‘Tenang walau bising’, ‘Sejuk meski padat’, dan ‘Damai walau beda asal’. Perebutan kuasa dan pengaruh itu sempat membuat MMDR terlena,’Terbuai dalam lamunan’, ‘Terbawa arus rasa’, dan ‘Damai tanpa batas’.
Meski kemudian MMDR memilih berpihak pada pelestarian tradisi sebagaimana dia ungkap dalam frasa ‘saatnya untuk pulang’. Tapi ia memilih sikap tersebut atas dorongan dua faktor eksternal, yaitu ‘tersadar saat teman menyapaku’ yang menunjukkan pada penerimaannya terhadap perspektif orang lain, serta ‘waktu sudah sore’ yang merepresentasikan suasana pertarungan sudah menjelang usai dan dan keberpihakan mesti diputuskan.
Sebagai penulis, tentu MMDR memiliki makna atas puisi-puisinya sendiri. Tetapi seperti fatwa Roland Barthes dalam esainya The Death of the Author (976), kritikus sastra dari Perancis ini begitu menentang otoritas penulis dalam menjelaskan secara pasti ‘makna akhir’ dari sebuah teks, termasuk puisi. Sebagaimana penulis yang punya pikiran dan perasaan terhadap teks-teks puisi yang ditulisnya, pembaca juga pikiran dan perasaan sendiri terhadap teks yang sama.
Kesadaran MMDR akan peran perspektif orang lain dalam pelestarian budaya dan tradisi tersebut, nyata terungkap melalui 13 keping puisi yang menggunakan bahasa Makassar MM. Mungkin karena puisi-puisi ini semacam ajakan untuk bergerak bersama, puisi-puisi itu terasa seperti teks-teks aru yang dilantunkan dalam proses angngaru, walau penggunaan gaya bahasa, diksi, irama, dan rima lebih mirip puisi pada umumnya.
MMDR menghadirkan MM bukan dengan hasrat untuk menguasai pikiran dan kesadaran pembaca dengan makna yang diinginkannya. MM dihadirkan sebagai sebagai sarana untuk berdialog dengan penuh persaudaraan. MMDR seakan sepakat dengan pernyataan Binhad bahwa bahasa puisi kadangkala bersifat misterius, olenya, tafsir atasnya bisa tak terduga kemunculan arah dan isinya. Bukankah memang itu yang dibutuhkan MMDR, sapaan seorang teman yang menyadarkan.
Selain keberpihakan pada warisan leluhur, MMDR juga menghadirkan beberapa puisi ungkapan cinta pada kehidupan yang dibaluri spirit kekeluargaan dan persaudaraan. Puisi berjudul Ibu (hal. 11), jelas untuk seorang ibu, pun puisi bertajuk Kaulah Sosok Idolaku (hal. 13), berisi kecintaan dan kekaguman pada sosok ayah. Lalu Harapan Yang Terbuang (hal. 68) ditulis untuk sang adik, dan Selamat Jalan Daengku (hal. 63) untuk dia yang lebih tua.
Sementara beberapa puisi dalam MM, terasa begitu kental diurapi dengan spirit sikapaccei, sikap saling merindui, saling mendukung, saling megingatkan, saling menasehati, saling bersimpati dan lalu berempati. Puisi itu di antaranya Selamat Jalan Saudaraku (hal. 28), Diakah Sahabatku? (hal. 33), Kita Adalah Sahabat (hal. 35), Jalan Kita Berbeda (hal. 58), dan Sabarlah Saudaraku (hal. 73).
Sampai pada titik ini, ikhtiar MMDR untuk menghadirkan bahan dan sarana dialog yang menuntun kita meniti jembatan yang menghubungkan generasi dan waktu, patut diapresiasi positif. Penggalan puisi D. Zawawi Imron dalam kumpulan puisi Mata Badik Mata Puisi (2012) yang berjudul Di Masjid Katangka (2012:149), tidaklah berlebihan dicuplik untuk MMDR.
...
Karaeng, o, Karaeng!
Di mataku, kumismu itu badik
dan jenggotmu tombak berombak
Namun hatimu tetap melati
Teras Kata, 12 Oktober 2024
Kasman McTutu, CEO Sindikasi Pena Hijau
Pengantar diskusi kumpulan puisi Maradekana Moncongkomba karya Muchtar Djaya Daeng Rau pada 13 Oktober 2024 di Kana Teater Takalar.
Tidak ada komentar: