Peluncuran buku kumpulan puisi berjudul Maradekana Moncongkomba yang digelar di Kana Teater Takalar, Ahad 13 Oktober 2024 malam, berlangsung semarak dengan menghadirkan dua orang pembahas, Prof. Dr. Kembong Daeng, M.Hum (akademisi UNM) dan Kasman McTutu (CEO Komunitas Pena Hijau Takalar)."
Kita bisa melihat bahwa ada gegar budaya yang dialami oleh penulis dalam melihat posisi tradisi dan kemodernan. Meski pada akhirnya, penulis memilih untuk bersetia pada akar kebudayaan Takalar." Ungkap Kasman saat mengantar diskusi.
Menurut Kasman, pilihan sikap penulis dikuatkan oleh dua hal. "Pertama, dukungan dari pihak lain, kedua penulis menyadari bahwa situasi sudah sampai pada titik kritis dimana pilihan dan keberpihakan harus diputuskan."
"Penulis menghadirkan puisinya sebagai jembatan ke masa aku dan kenangan, serta menjadi semacam ajakan bagi kita semua mencurahkan perhatian pada upaya pelestarian tradisi dan kearifan lokal. Ajakan ini patut disambut dengan riang gembira." Ungkap Kasman sambil menambahkan bahwa Komunitas Pena Hijau siap berkolaborasi.
Sementara itu, Prof. Kembong melihat bahwa pilihan Daeng Rau untuk menulis puisi dalam bahasa Makassar adalah sesuatu yang luar biasa. Menurutnya, sudah banyak yang menulis puisi tetapi jarang yang bisa menulis puisi dalam bahasa Makassar.
"Tidak hadirnya terjemahan untuk puisi yang berbahasa Makassar adalah pilihan yang tepat. Ini akan membuat pembaca belajar bahasa Makassar. Kata-katanya sangat puitis, saya juga masih ada kata-kata yang tidak saya tahu artinya." Ungkap Prof. Kembong.
Buku besutan Muchtar Djaya Daeng Rau tersebut berhasil memantik diskursus peserta perihal akar kebudayaan peradaban Makassar. Pasalnya, beberapa puisi yang ditulis dalam bahasa Makassar mengungkap tabir keberadaan peradaban tua pra Makassar (Gowa-Tallo).
Salah seorang tokoh masyarakat Takalar, Ir. Alimuddin Daeng Namba dalam komentarnya menyebut bahwa buku tulisan Daeng Rau ini adalah pemantik awal untuk kembali menelusuri jejak sejarah Makassar di daerah Moncongkomba, Ko'mara, dan Polongbangkeng. "Sebelum di Gowa, saya mempunyai informasi soal hadirnya tumanurung di Ko'mara." Terang Daeng Namba.
Nampaknya, niat Daeng Rau untuk menjadikan kumpulan puisi ini sebagai pemantik bagi diskursus tradisi lokal, lumayan berhasil. Bahkan founder Kana Teater langsung merespon dengan rencana menggelar lomba baca puisi karya-karya Daeng Rau.
Tidak ada komentar: