Kisah Masa Kecilku (Bagian 15)


Sanro Paggoloq

Sepulang sekolah, aku langsung tidur siang seusai salat duhur dan makan. Rencananya, sebentar sore aku sudah janjian dengan Yungkung dan Yoncong –ini beda dengan Oncong– untuk menonton pertandingan sepak bola antar kampung di lapangan sepakbola kecamatan, namanya Lapangan Salampé.

Yungkung dan Yoncong ini sebetulnya sekelas Qassam, tapi lebih sering bergaul denganku. Nama resmi Yungkung adalah Idrus, sementara Yoncong bernama lengkap Akbar. Entah bagaimana kisahnya mereka mendapatkan nama panggilan jauh dari nama sebenarnya.

Mengapa kami merasa harus pergi, itu karena sore nanti kesebelasan desa kami Pakkasalo akan bertanding menghadapi kesebelasan Pasaka. Ada beberapa tetangga kami yang akan menjadi pemain inti, tentu secara emosional kami merasa perlu memberikan dukungan. 

Warga desa kami, terutama yang masih remaja, banyak yang akan berangkat, baik dengan bersepeda maupun berjalan kaki sejauh dua kilometer. Tentu pete'-pete' tak menjadi pilihan, jenis transportasi ini sangat jarang melintas di desa kami, terutama di sore hari.

Hal yang membuat pertandingan sepak bola antar kampung ini menjadi lebih seru karena ini bukan sekadar olahraga biasa, ini adalah pertaruhan harga diri bagi dukun kampung, ya para sanro. Ritual klenik hampir selalu mewarnai setiap pertandingan, terutama sepakbola yang punya banyak penonton. 

Pernah saat pertandingan tarik tambang antar sekolah pada perayaan tujuhbelasan, sekolah yang berhasil menjadi juara satu tingkat kecamatan, diyakini memanfaatkan jasa sanro.

Para sanro akan memanfaatkan situasi tersebut untuk meningkatkan ketenaran bila kesebelasan yang didukungnya meraih kemenangan. Sebab dengan demikian, namanya akan kian moncer, warga akan berbondong-bondong untuk menggunakan jasanya, yang berarti pemasukannya juga akan melimpah. Biasanya, yang banyak menggunakan jasa sanro adalah para penjudi nomor buntut, terutama untuk membantu mereka menafsirkan mimpi ke dalam rumus kode buntut.

Pikiran tentang peran sanro ini membuatku hanya bisa bolak-balik di tempat tidur, dan gagal memejamkan mata untuk tidur siang. Aku membayangkan apa yang akan dilakukan para sanro tersebut. Biasanya ada yang mendatangi lapangan beberapa jam sebelu pertandingan, lalu mengencingi tiang gawang dan mengarahkan agar tim yang dibelanya jangan memilih gawang itu di babak pertama. Ada juga yang suka mengirimkan sejenis teluh ringan, membuat pemain andalan lawan menderita mencret sehingga tak bisa bermain.

Namun yang paling jitu adalah mereka yang beraksi sepanjang pertandingan, mereka bisa membuat bola terasa berat untuk di tentang oleh kaki lawan, atau membuat kiper lawan kehilangan konsentrasi saat akan menghalau bola. Lazimnya, sanro yang menggunakan cara ini mempunyai ciri tersendiri, mereka hadir di pinggir lapangan dengan mengenakan sarung palekat hijau tua, berbaju kemeja hitam, lengkap dengan peci hitam atau songkok pamiring ulaweng, topi khas lelaki Bugis. Mereka punya janggut dan misai yang terpelihara.

Pernah juga aku menemukan sanro yang lebih elegan, tampilannya seperti penonton pada umumnya, mengenakan baju kaus berkerah, bercelana training, dan bertopi pet. Tapi kekuatan mantranya bekerja di air minum yang dikonsumsi oleh para pemain agar staminanya lebih kuat, larinya lebih kencang, dan tendangannya lebih akurat. Yungkung pernah memberitahuku bahwa air minum itu merupakan hasil tirakat, campuran antara air dari mata air di kaki bulu Cinnong, sedikit kencing pertama seekor anak kuda yang baru dilahirkan, dan rendaman tanduk kerbau.

Aku masih menerawang membayangkan aksi para sanro saat jam dinding sudah berdentang tiga kali, pertanda waktu asar segera tiba. Aku bergegas bangun, bergerak menuju tandas untuk berwudu. Aku akan salat begitu azan berkumandang, agar bisa segera ke rumah Yungkung dan Yoncong untuk berjalan bersama ke kecamatan, pertandingan akan dimulai pukul empat sore. Biasanya, kesebelasan desa kami sudah di dekat lapangan sejak siang, mereka ke sana dengan mencarter pete'-pete'.

* * *

Bubar dari lapangan, kami bisa menari nafas lega, pertandingan berakhir seri dengan skor dua sama. Aku mengajak Yungkung dan Yoncong untuk bergegas pulang agar minimal kami bisa tiba kembali di rumah saat waktu magrib masih tersisa. Kulihat teman sekelasku, Yusuf –yang karib disapa Ucu'– pulang berboncengan sepeda dengan Edi, mereka memang berhadapan rumah di Benteng.

"Kami duluan ya, hati-hati." Sapa Ucu'.

"Kuat juga kalian jalan kami." Imbuh Edi yang membetulkan pijakannya. Dia memang membonceng ala koboi dengan berdiri di belakang, sepeda yang digunakan Ucu' tidak mempunyai boncengan. Sambil berpegangan pada bahu Ucu', kaki Edi berpijak pada ujung as roda di kiri kanan.

"Kalian juga hati-hati, Edi awas betismu terserempet ban." Timpal Yungkung.

Kami bertiga menyusur jalan yang mulai sepi, beberapa penonton sejurusan kami ternyata nebeng pada beberapa pete'-pete' sore yang baru pulang dari kota kabupaten mengangkut para penjual ikan. Karena pete'-pete'-nya penuh, mereka harus berdiri berdesakan di pintu samping, terkadang merea bertiga atau berempat sehingga hanya satu kaki mereka yang berpijak, membuat pete'-pete' seperti miring. Pete'-pete' penjual ikan ini, biasanya berasal dari Desa Ujungé, sebuah desa pesisir yang menjadi salah satu kawasan penghasil ikan di Kabupaten Bone.

Kisah Masa Kecilku (Bagian 15) Kisah Masa Kecilku (Bagian 15) Reviewed by adminisme on 11/27/2024 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.