Komunitas Pena Hijau Takalar Bincang Buku Bersama Khrisna Pabichara

Takalar - Bertempat di Warkop Alif Takalar, Komunitas Pena Hijau Takalar gelar bincang buku bersama Khrisna Pabichara. Selasa, 24 Mei 2016 (14.00).

Khrisna Pabichara didampingi oleh Muhammad Kasman Matutu (Penulis) membincangkan Novel Terbarunya yang berjudul Natisha, Persembahan Terakhir. Yang baru diluncurkan tgl 18 Mei 2016 di Makassar Internasional Writer Festival yang diselengarakan di Benteng Rotterdam kemarin.

Asny Syahriani, ketua panitia pelaksana mengatakan bahwa kegiatan ini terlaksana atas kerja sama Komunitas Pena Hijau Takalar dengan Penerbit Javanica.

“Ini masih bagian dari Satellite Program Makassar International Writers Festival. Dan dengan bekerja sama Penerbit Javanica, kegiatan ini bisa terlaksana” Imbuh Asny.

Acara yang dimoderatori oleh Isbach Wahyudin (Aktivis Pemuda Muslim Takalar) ini dihadiri oleh lebih oleh puluhan orang.

Dalam pengantar bincang buku Natisha, Isbach (Moderator) menjelaskan bahwa Novel yang ditulis oleh Khrisna Pabichara ini banyak memuat nilai-nilai sejarah 1947 masyarakat memerangi Pasukan Belanda di Jeneponto. Bukan hanya itu Novel ini juga kaya dengan nilai-nilai kebudayaan Makassar seperti “Parakang” yang sebahagian orang masih mempercayainya sebagai mitos yang ada di Sulawesi Selatan.

Bincang buku yang berlangsung sekitar dua jam lebih. Berikut: Sesi Tanya Jawab pembedah dengan peserta.

Syahrul: Kalau boleh tahu, kenapa Khrisna menamai novel ini dengan judul Natisha? Kenapa bukan nama-nama lokal. Padahal novel ini memuat Jeneponto hampir secara keseluruhan.

Khrisna: Saya memberi nama Natisha, karena di Indonesia, sebanyak 60 persen pembaca itu orang Jawa, jadi kalau misalnya namanya Basse, atau nama yang lokal tentu pembacanya terbatas. Dan juga, Ibu Natisha berasal dari Pakistan, meski Ayahnya orang Jeneponto. Jadi wajar-wajar saja jika namanya Natisha.

Muhammad Kasman menambahkan bahwa penamaan Natisha pada novel Khrisna sebenarnya terkait dengan beberapa tulisannya. Misalnya kumpulan cerpen Mengawini Ibu ada nama Natisha dan juga Gadis Pakarena, ada nama Natisha tertera.

Herman Daeng Sijaya: Dalam novel ini, Kak Khrisna banyak menceritakan “Parakang” terutama dalam bagian ketiga dalam novel ini. Apakah Khrisna memasukkan Parakang dalam novel ini melalui sebuah riset atau seperti apa? Sebab bagi Saya, sosok Parang masih sebatas mitologi, saya hanya mendengarnya dari mulut ke ke mulut.

Khrisna: Saya menulis Natisha sebenarnya menempuh waktu 11 tahun. Dan kalau ditanya apakah dengan riset, maka saya jawab ia. Mungkin bagi sebahagian orang tidak pernah melihat Parakang, tapi saya sampai sekarang masih bisa menjumpainya. kita masih bisa menjumpainya di beberapa tempat yang ada di Sulsel ini.

Muhammad Kasman: Kalau saya sendiri, juga menganggap bahwa Parakang yang ditulis dalam novel ini adalah sebuah realita. Saya secara pribadi, di Kampung saya beberapa kali menjumpainya. Parakang itu bisa berubah wujud menjadi, Pohon Pisang, Kamboti, dan Anjing liar atau Srigala.

Selain memuat banyak nilai-nilai lokalitas, Natisha juga kaya dengan bahasa-bahasa Indonesia yang tidak lazim digunakan. (rb-penahijau)

Komunitas Pena Hijau Takalar Bincang Buku Bersama Khrisna Pabichara Komunitas Pena Hijau Takalar Bincang Buku Bersama Khrisna Pabichara Reviewed by Pena Hijau on 5/24/2016 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.