Karobana I Taweq
Oh ya, mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa sebagian besar kawan bermainku seperti Ife', Oncong, dan Pandu serta yang lain tak ikut menonton. Perlu kuterangkan bahwa mereka merasa tak penting untuk ikut menonton, apalagi harus berjalan kaki, mereka lebih memilih untuk ke sungai bermain sambil memandikan kerbau dan sapinya. Menurutku, mereka tak punya minat untuk menonton, tapi bila sekadar bermain sepakbola, mereka malah bersemangat. Biasanya kami bermain di lapangan pinggir sungai dengan bola plastik.
Kami terus berjalan sambil mempercepat langkah, jalanan mulai sepi ketika dari arah belakang kami melihat secercah harapan.
"I Tawe'.....!" Teriak kami serempak. Dari jauh kelihatan sebuah karoba berjalan terguncang-gungang yang ditarik oleh seekor kuda. Itu karoba yang aneh sebetulnya, sebab modelnya lebih mirip dengan gerobak yang biasa ditarik oleh sapi. Bentuknya seperti kotak dengan dinding di sisi kiri dan kanan seukuran lutut orang dewasa, di kiri kanannya terdapat roda dari ban mobil bekas. Pengemudinya, seorang lelaki tua yang rajin mengenakan helm, celana selutut dan berkalung sarung, Pattawe' namanya, kami sering menyapanya I Tawe'.
Tawe' sendiri dalam bahasa Bugis bermakna air yang telah dimantrai, biasanya untuk obat. Nah, kalau Pattawe' berarti orang yang ahli membuat tawe'. Entahlah apakah betul I Tawe' pintar membuat tawe', yang pasti dia menjadi harapan kami sore itu. Aku perkirakan, I Tawe' ini sudah berusia tujuhpuluhan tahun, badannya ringkih, pipinya kempot dengan mulut yang tak pernah berhenti mengunyah, yang belakangan kuketahui bila dia mengunyah daun sirih dan pinang. Mungkin dia sedikit di antara orang tua di kecamatan kami yang masih mempertahankan tradisi itu.
Begitu dia melintas, kami berlari sambil memegang tepi gerobaknya yang sesak dengan bakkaweng, atap rumbia.
"Kami menumpang ya..." Seru Yungkung sambil terengah.
"Hah! Kalian hanya akan membuat kudaku kelelahan..." Jawabnya acuh.
"Tolonglah, kami hanya sampai Pajjia..." Pintaku.
"Atau sampai perbatasan saja, rumahku di situ." Timpal Yoncong yang sudah terengah.
"Siapa rumah di situ?" Tanya Pattawe'.
"Saya anaknya Pak Rasyid." Jawab Yoncong.
"Oh, anaknya Tuan Guru, silakan naik, tapi jangan banyak goyang ya." Ujar Pattawe' tanpa melambatkan laju gerobaknya.
Kami berlompatan naik ke karoba di bagian belakang, lalu duduk dengan menggantungkan kaki.
"Ternyata hebat juga menjadi anak guru ya?" Bisikku pada Yoncong.
"Iya, hihihi....."
"Heh, jangan banyak goyang." Teriak I Tawe' dari depan sambil melecutkan cambuknya ke belakang, beruntung tumpukan bakkaweng menghalangi sehingga kami lolos dari jangkauannya. Kalau sampai kena sabetannya, bisa berare. Ukuran cambuknya memang pendek, tapi terbuat dari ekor pari, sehingga berduri-duri. Pattawe' memang terkenal agak judes terhadap anak-anak sehingga jarang yang berani untuk menumpang di karoba-nya. Seandainya tak kepepet, kami saja tak berani.
Berkat naik karoba, kami tiba tepat sebelum azan magrib berkumandang. Alhamdulillah, selamat lagi dari hukuman ayah, batinku. Tapi rupanya aku lupa, bahwa setiap jelang magrib, bila bukan jadwal mengaji di masjid, aku harus mengangkat air dari sumur untuk memenuhi gumbang di dapur dan di tandas dekat tangga depan. Maka seusai salat berjamaah dari ayah, aku harus berjibaku dalam remang mengangkat lima ember air.
* * *
Siang ini aku kembali menumpang di karoba-nya I Tawe'. Kali ini aku bersama Hasan dan Oncong. Kami bertiga baru pulang dari lapangan kecamatan mengikuti lomba bermain logo, mewakili sekolah. Kami memang diberi ongkos untuk naik pete'-pete' dari sekolah, tapi memilih berjalan kaki dan ongkos pete'-pete' beralih menjadi pembeli es krim yang kami idam-idamkan. Uang makan hanya pas untuk membeli semangkuk bakso untuk kami bertiga.
Sekali lagi, bagian belakang bak karoba-nya I Tawe' menjadi penyelamat. Kali ini, Pattawe' tak mengangkut bakkaweng, tapi setumpuk kayu bayar yang terikat rapi. Ia tetap dengan gaya khasnya yang mengenakan helm. Dia tak banyak bicara, mungkin karena siang ini lumayan terik. Kami juga tak bersemangat untuk bercakap, dengan bersandar di tumpukan kayu bakar, muka kami tutupi dengan baju seragam yang kancingnya kami buka.
Memasuki perbatasan Desa Pattiro Bajo dengan Desa Pakkasalo, kami memberi kode ke Pattawe' bahwa kami akan melompat turun. Sekira sepuluh meter sebelum rumahnya Yoncong kami berlompatan sambil meneriakkan terima kasih kepada I Tawe'. Rumah Hasan memang tak jauh dari rumah Yoncong, beberapa puluh meter di belakang, sehingga untuk sampai di sana, kami harus masuk melalui setapat di samping rumah Yoncong. Tapi sebetulnya bukan rumah Hasan yang kami tuju, kami menuju ke tempat lain.
Begitu menapak aspal, kami bergegas melompati parit, menjejak pematang sawah di sebelah barat rumah Yoncong, kami berjalan menuju selatan. Dari jauh, kelihatan sebatang pohon coppeng sarat dengan buah yang mulai menghitam. Pohon itu berdiri tegak tepat di batas persawahan. Itulah tujuan kami, ingin menikmati coppeng, buah camblang itu sangat nikmat bila sudah menghitam begitu. Dengan riang kami berlari menyusur pematang, tak peduli dengan terik yang membakar kulit.
Sambil berlari mengikuti Hasan dan Oncong, aku sempat berpikir, mengapa dengan buah selebat itu, tidak ada yang berani mengambilnya? Begitu aku mulai memeluk batang dan menapakkan kaki untuk memanjat, akhirnya aku tahu mengapa buahnya tak terjamah. Di sebelah timurnya, hanya dihalangi oleh belukar, terhampar pekuburan. Pantas saja dia bisa tenang tanpa gangguan, rupanya ini coppeng tampung, camblang kuburan. Tapi berhubung sudah setengah jalan, aku terus saja merambat naik, menyusul Oncong yang sudah bertengger di salah satu dahan.
Begitu aku menemukan posisi yang pas, dan Hasan sudah berada di dekatku, kakiku melayang ringan menyepak lututunya.
"Kenapa kau tidak bilang kalau ini coppeng tampung?" Ujarku kesal.
"Kalau saya bilang, apa kau masih tetap akan ikut? Hehehehe..." Hasan malah cengengesan.
"Dasar..." Aku menimpuknya dengan buah coppeng yang langsung pecah di baju seragam putihnya.
"Hahahahahaha.... Nikmati saja..." Imbuh Oncong.
"Iya, mumpung tak ada saingan." Hasan membalas timpukanku. Baju putihku belepotan warna ungu tua. Jadilah kami menikmati buah coppeng sambil sesekalli saling lempar, baju kami sudah berubah warna.
Setelah puas, saatnya kami memanen coppeng untuk kami bawa pulang. Karena memang tak ada perencanaan sebelumnya, jadilah kami melepas baju putih --yang sejatinya tak lagi putih-- untuk menjadi tempat menyimpan buah. Selepas itu, kami beranjak pulang dengan perasan bangga, pulang membawa buah coppeng yang banyak. Hasan lebih dulu memisahkan diri, sebab rumahnya memang dekat dari situ. Berdua dengan Oncong kami menembus kebun-kebun tetangga sebelum tiba di belakang rumahnya, rumah kami berhadapan.
Tapi bukannya mendapatkan pujian, begitu melihat bajuku yang telah bersalin warna, ibu marah besar. Aku berlari ke sumur untuk mandi, sekaligus menghindari omelan ibu. Rupanya, noda bekas buah coppeng, tak bisa dihilangkan, meski dicuci dengan pemutih. Itu berarti, satu-satunya cara agar aku bisa tetap ke sekolah dengan seragam, adalah membeli baju baru.
"Bukan hanya baju, gigimu juga menghitam, hehehe...." Seru Qassam yang menyusulku ke sumur sambil membawa dua ember.
"Sebagai hukuman, kamu harus mengisi penuhu gumbang di dapur, juga yang di dekat tangga." Lanjutnya.
"Ha?" Hanya itu yang keluar dari mulutku, tak ada ruang untuk menggugat hukuman.
"Terima kasih ya, telah membebaskanku dari tugas mengangkat air." Qassam berlari meninggalkanku, ujung tawanya masih terdengar.
Sejak itu, aku tak pernah lagi berani memanjat pohon coppeng dengan memakai baju.
Tidak ada komentar: