Sebagai anak negeri, warga negara Indonesia tercinta, apakah kita pernah mencoba merenung tentang apa makna menjadi Indonesia? Pernahkah kita bertanya seperti apa Indonesia yang kita kehendaki, Indonesia yang ingin kita wujudkan, Indonesia yang kita idam–idamkan, Indonesia yang kita mimpi–mimpikan, Indonesia yang kita cita–citakan, Indonesia yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita dan diwariskan untuk kita lanjutkan proses mewujudkannya.
Sebagai warga bangsa, tentu kita semua punya hak yang sama untuk memiliki harapan dan membangun cita-cita tentang negeri ideal yang kita tuju. Hak itu bukan hanya milik kaum terpelajar, cerdik–cendekia, atau mereka yang punya kuasa dan harta. Apapun profesi kita, semua warga negara Indonesia, baik itu para petani yang bergelut dengan lumpur, peladang yang bercengkerama dengan perdu, nelayan yang mengarungi lautan, dan yang lain, semua berhak bermimpi tentang Indonesia yang mereka kehendaki.
Salah seorang warga negara Indonesia yang berani mengemukakan mimpinya adalah H. Muhammad Chasan Ibrahim yang di tengah publik lebih dikenal sebagai H.M. Ch. Ibrahim. Mengapa mengungkapkan harapan soal Indonesia yang dikehendaki merupakan keberanian? Sebab H.M. Ch. Ibrahim mengungkapkannya saat kekuasaan Soeharto dengan rezim Orde Baru sedang dalam kuat–kuatnya melakukan konsolidasi pada tahun 1985.
H.M. Ch. Ibrahim yang kala itu menggunakan nama samaran Abu Ridho mengurai gagasannya tentang Indonesia ideal dari berbagai sisi secara komprehensif melalui sebuah buku yang pertama kali terbit pada 30 Januari 1985. Gagasan besar dalam buku ini, bercermin pada pengalamannya sebagai aktivis sosial cum politisi sepanjang keterlibatannya mengasuh tumbuh–kembang bangsa Indonesia sejak masa pergerakan kemerdekaan.
Gagasan ini terbentuk dari pengalaman yang telah lama terekam dalam ingatan saya sebagai hasil pengamatan yang semestinya dappatt merealisasikan UUD 1945, dalam wujud operasional pembangunan Indonesia. Karena buku ini berfungsi untuk semua pihak yang ingin menyusun rencana–rencana kenegaraan atau haluan negara yang didasrkan pada niat suci dan bertanggungjawab demi mencapai Indonesia merdeka lahir batin yang kita cita–citakan, yaitu kemerdekaan sejati (1985:31)
Dengan cergas, pria yang lahir dari keluarga muslim aristokrat Banteng pada 21 September 1932 ini mengemukakan idenya seputar Indonesia mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya nasional, hinggga pertahanan dan keamanan nasional. Tak tanggung–tanggung, meski karir politik formalnya diakhiri secara paksa oleh Soeharto pas ia menduduki jabatan sebagai anggota MPR RI era 1972–1977 mewakili Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Pasca itu, sejak kekuasaannya sebagai Presiden Lajnah Tanfidziyah PSII dibegal atas 'perintah' Soeharto, H.M. Ch. Ibrahim menyalurkan aspirasi politiknya melalui Petisi 50, kelompok oposisi yang dimotori oleh Ali Sadikin, Kasman Singodimedjo, A.H. Nasution, Judilherry Justam, A.M. Fatwa, Anwar Harjono, dan tokoh Indonesia terkemuka lainnya dengan berbagai latar belakang.
Ali Sadikin dalam pengantarnya untuk buku ini (2015:29) menyebut bahwa keterlibatan H.M. Ch. Ibrahim menunjukkan kesungguhannya secara bersama-sama guna meluruskan perjalanan bangsa dan negara Republik Indonesia agar tetap berada pada jalur yang benar menuju cita–cita Proklamasi Kemerdekaan. Ini menunjukkan bahwa H.M. Ch. Ibrahim adalah seorang tokoh yang patut diperhitungkan dan bukan seorang yang berkualitas 'kaleng–kaleng'.
Menariknya, pada pembahasan mengenai ideologi, H.M. Ch. Ibrahim (2015:51) menegaskan bahwa heterogenitas ideologi dengan berbagai modifikasinya yang dianut oleh bangsa Indonesia melahirkan kesempatan untuk membentuk sebuah ideologi persatuan bagi negara Republik Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945 yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta yang dikonstruksi dalma bentuk lima dasar kenegaraan yang hari ini dikenal sebagai Pancasila.
Meski kaderisasi dan sepanjang karir politiknya berkubang dalam pergerakan Islam, H.M. Ch. Ibrahim menunjukkan kualitasnya sebagai pribadi dengan kesadaran kewargaan yang mumpuni. Dengan tegas ia menolak Pancasila ditafsir berdasarkan selera penguasa dan/atau selera masing-masing ideologi yang pernah dan masih eksis di Indonesia, baik itu Islamisme, Marhaenisme, Yesusisme, Liberalisme, Nasionalisme, Budisme, Hinduisme, dan berbagai modifikasi dari ideologi tersebut (1985:51).
Menurutnya, "Tafsir Pancasila sudah jelas, yaitu kalimat–kalimat apa yang tersurat dan yang tersirat di dalam pembukaan dan batang tubuh serta penjelasan–penjelasan otentik UUD 1945 itu sendiri" (1985:52–53). Sehingga upaya mereka yang menafsirkan Pancasila menurut sekehendaknya oleh H.M. Ch. Ibrahim disebutnya sebagai pihak yang tidak menyetujui Pancasila, meski tidak berani secara terang–terangan menolak.
Secara gamblang, ia lalu memaparkan bagaimana seharusnya kita memahami lima sila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. H.M. Ch. Ibrahim secara khusus menulis soal ini dalam halaman 56 s.d. 72 dalam bukunya.
Pada bagian politik, dengan konsisten H.M. Ch. Ibrahim (1985:74) mengemukakan bahwa "Sebagai negara yang bersilakan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tentu bukan tempatnya untuk menganut politik yang kotor dan sepantasnyalah menganut politik yang bersih, politik yang dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan dibimbing oleh Kemanusiaan yang Adil dan Beradab".
Implementasi prinsip politik sedemikian oleh H.M. Ch. Ibrahim diejawantahkan dengan tumbuh suburnya partai-partai yang mencerminkan agama yang ada dalam masyarakat. Menurutnya:
...pantaslah kalau partai itu terdiri dari partai–partai Islam, partai–partai Kristen dan Khatolik, partai Nasionalis dan partai Sosialis. Dan pantaslah apabila sistem kepartaian Indonesia tidak menganut partai tunggal dan tidak pula menganut dwi partai, ataupun sistem multi partai. Lebih pantas apabila kita bangsa Indonesia menganut sistem multi–partai terbatas (1985:76).
Lalu apa sistem multi–partai terbatas menurut H.M. Ch. Ibrahim? Yaitu tersedianya partai yang bisa menyelenggarakan kedaulatan rakyat yang mempunyai hak dan kewajiban politik dan seyogyanya jumlah partai minimum lima partai yaitu Partai Nasionalis, Partai Sosialis, Partai Islam, Partai Kristen dan Khatolik, dan Partai MultiIdeologis yang menampung berbagai aliran agama seperti Hindu, Budha, dan berbagai aliran kepercayaan.
Sepertiga bagian akhir bukunya, H.M. Ch. Ibrahim mengulas tentang ekonomi, sosial, budaya nasional, hinggga pertahanan dan keamanan nasional. Tentu saja, ulasan–ulasannya secara konsisten berangkat dari kalimat–kalimat apa yang tersurat dan yang tersirat di dalam pembukaan dan batang tubuh serta penjelasan–penjelasan otentik UUD 1945. Kita tak akan menemukan bias perspektif dalam argumen-argumen yang dibangunnya.
H.M. Ch. Ibrahim meyakini bahwa mozaik pikiran yang kemukakannya, insya Allah dapat segera terwujudnya Indonesia yang sejahtera dalam kemakmuran, dan makmur dalam kesejahteraan. Indonesia yang aman dalam kesentosaan, dan sentosa dalam keamanan. Tentu saja bila dibarengi dengan penyelesaian masalah pada berbagai masalah pada aspek hukum, kebebasan beribadah, kemakmuran rakyat, serta keadilan sosial berupa jaminan pendidikan dan jaminan mencari nafkah (1985:118–119).
Buku ini menjadi salah satu pustaka yang pantas diulik oleh mereka yang mash peduli dengan masa depan Indonesia yang lebih baik. Seperti kata Ali Sadikin, "Saya yakin, bahwa hal–hal yang dituangkan oleh saudara H.M. Ch. Ibrahim (almarhum) dalam bukunya ini adalah representasi yang sesungguhnya mengenai cita–cita bangsa Indonesia yang kita kehendaki" (1985:29)
Judul: Indonesia Yang Kita Kehendaki | Penulis: H. Muhammad Chasan Ibrahim | Penerbit: Makhraja | Cetakan: Pertama, Mei 2015 | Jumlah Halaman: 128 | ISBN : 978-602-72616-0-0
Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau
Tidak ada komentar: